Menengok Bukti Kekejaman Kelompok Separatis Papua
Oleh : Yeremia Kogoya )*
Tak hanya menuntut akan referendum, kelompok Separatis Papua telah memiliki catatan hitam atas berbagai kekejaman yang pernah dilakukan kepada sesama anak bangsa. Hal ini tentu tak bisa dibiarkan, karena akan berpotensi memecah belah NKRI.
Salah satu kekejaman yang masih membekas adalah, agresi OPM pada 1 Desember 2018 yang diklaim sebagai hari kemerdekaan Papua Barat. Acara tersebut dibarengi dengan agenda bakar batu bersama masyarakat setempat. Lantaran ada pekerja PT Istaka Karya yang memotret rangkaian acara tersebut, Kelompok Kriminal Separatis tersebut lantas mendatangi base camp mereka.
Saat itu kelompok separatis datang sekitar pukul 15.00 WIT. Dengan berbagai senjata tajam dan senjata api, puluhan anggota kelompok itu memaksa 25 pekerja PT Istaka Karya keluar dari base camp.
Selanjutnya, mereka digiring menuju Kali Karunggame dalam kondisi tangan terikat,” imbuhnya. Sampai pada hari minggu para pekerja tidak dilepaskan. Sekitar pukul 07.00 WIT mereka dibawa ke puncak Bukit Kabo.
Dalam perjalanan dari Kali Karunggame ke Bukit Kabo, puluhan pekerja PT Istaka Karya diminta berjalan jongkok, pada saat itulah OPM menembaki mereka.
Sebagian pekerja tertembak mati di tempat, sebagian lagi pura – pura mati terkapar di tanah. Total sebelas pekerja PT Istaka Karya berpura – pura tidak bernyawa. Namun, lima di antaranya ketahuan saat hendak melarikan diri. Mereka langsung diserang dengan menggunakan senjata tajam.
Peristiwa tersebut tentu membuat kita mesti waspada akan awal Desember nanti, sehingga tidak ada kejadian serupa yang dapat menimbulkan korban jiwa.
Tindakan OPM memang jelas merupakan kejahatan kemanusiaan dan OPM tidak hanya organisasi penjual harapan palsu akan kesejahteraan Papua tetapi juga merupakan kelompok kriminal dan teror yang harus segera ditumpas oleh negara.
Selain itu, kelompok separatis Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TNPB) secara mengejutkan telah merekrut sejumlah anak–anak dan remaja untuk melawan pasukan militer Indonesia. Tindakan tersebut tentu telah melanggar konvensi Internasional dan melanggar hak asasi anak untuk mendapatkan pendidikan yang baik.
Dalam rangka propaganda, TNPB telah mendokumentasikan pembentukan tentara anak tersebut. Dalam salah satu foto terlihat anak – anak remaja dengan wajah yang telah di-cat berwarna hitam. Mereka lantas memegang senapan lengkap dengan amunisi dan mengenakan seragam ala militer bak tentara yang hendak berangkat perang.
Kelompok separatis tersebut beranggapan, bahwa anak–anak tersebut secara otomatis akan menjadi pejuang dan penentang militer kolonial Indonesia. Pihaknya mengatakan, sekitar 12 tentara anak berusia atara 15 hingga 18 tahun saat ini berjuang untuk kelompoknya di berbagai daerah di Papua.
Tentu saja hal tersebut tidak dibenarkan, karena kelompok kerja PBB telah menetapkan untuk anak – anak dan konflik bersenjata. Dalam hukum hak asasi manusia internasional, 18 tahun adalah usia minimum untuk perekrutan dan penggunaan anak – anak dalam peperangan secara legal.
Dosen senior di Universitas Auckland yang berspesialisasi dalam terorisme dan konflik di Indonesia Chris Wilson, mengatakan bahwa penggunaan tentara anak – anak sudah pasti menambah panjang daftar kekejaman Kelompok Separatis di Papua.
Selain itu rekam jejak kekejaman separatis Papua terjadi pada hari Jumat 16 Agustus 2019, dimana saat itu kelompok separatis melakukan penghadangan dan penembakan terhadap konvoi kendaraan pengangkut logistik Satgas Pamrahwan di jalan Trans Wamena-Habema.
Pukul 15.30 WIT, 2 unit kendaraan jenis Hilux yang baru saja selesai mengantar perbekalan bagi personel Pos Pamrahwan TNI yang berada di Mbua, diberondong peluru di sekitar kilometer 39 Jalan Trans Wamena – Habema.
Pelaku penembakan tersebut diduga merupakan kelompok separatis bersenjata pimpinan Egianus Kogoya. Tembakan tersebut berasal dari 2 arah yaitu ketinggian dan lembah yang berada di kanan dan kiri jalan.
Kontak senjata terjadi kurang lebih sekitar 20 menit. Tembakan balasan dari para personel TNI membuat kelompok tersebut melarikan diri.
Setelah keadaan mulai kondusif, 2 Prajurit TNI dilaporkan terluka oleh hantaman timah panas. Pratu Panji tertembak pada bagian lengan kiri dan Pratu Sirwandi tertembak pada paha kiri.
Tentu saja kita tidak ingin kekejaman tersebut berlanjut, Indonesia besar karena rasa persatuan dalam perbedaan. Bukan lantas memusuhi antar sesama anak bangsa. Kekejaman yang dilakukan oleh kelompok separatis haruslah mendapatkan hukuman yang setimpal.
)* Penulis adalah mahasiswa Papua tinggal di Jakarta