Menengok Penyusunan Kabinet Pemerintahan Jokowi
Oleh : Raditya Rahman )*
Pasangan Joko Widodo – Ma’ruf Amin telah resmi menjadi pemenang pada perhelatan Pilpres 2019 mengalahkan Prabowo – Sandiaga. Kemenangan tersebut bukan berarti membuat Jokowi terlena dalam euforia kemenangan, karena masih ada amanah dan PR yang harus dieksekusi.
Salah satu hal terpenting yang harus dilakukan oleh Jokowi adalah menyusun kabinet, hal tersebut mesti dilakukan guna mewujudkan visi dan misi Jokowi pada periode 2019 – 2024.
Partai – partai politik pendukung maupun nonpendukung Jokowi, serta beberapa ormas dan pihak yang berkeringat mengusungnya dalam pemilihan Presiden, secara tidak langsung telah mematut diri agar diikutsertakan dalam gerbong kabinet. Lobi resmi dan tak resmi, kasak – kusuk dan umbaran pernyataan di media massa arus utama maupun media sosial, seakan menambah sesak atmosfer informasi tanah air belakangan ini.
Beredarnya dokumen yang berisi nama – nama menteri Jokowi – Ma’ruf Amin cukup menyesakkan ranah media. Padahal setelah dokumen itu tersebar dalam aplikasi WhatsApp, Jokowi belum memutuskan siapa menteri yang akan ikut bekerja.
Bahkan tersebarnya hasil rapat di sentul yang mengumumkan nama menteri juga dibantah oleh Staf Khusus Presiden Teten Masduki, yang membantah bahwa Presiden Jokowi menggelar rapat khusus di Sentul untuk menentukan nama – nama menteri di Kabinet Kerja Jilid II.
Pemberitaan ini tentu harus ditanggapi dengan bijak, kita jangan terburu – buru untuk menyebutkan siapa nama menteri yang sekiranya akan dipilih oleh Jokowi dalam Kabinet Indonesia Kerja.
Pertanyaan yang menggelantung di benak publik adalah, apakah Jokowi akan menyusun “zaken kabinet” (kabinet ahli), ataukah kabinet yang lebih mengakomodasi kepentingan para pendukungnya sebagai bentuk balas jasa politik.
Dalam zaken kabinet, para menteri atau mayoritas dari jumlah menteri berasal dari kalangan ahli atau profesional. Jadi bukan representasi dari partai politik atau golongan tertentu.
Sehingga menteri yang akan membantu Jokowi dalam kabinetnya haruslah berisi orang yang kredibel, dan selaras dengan visi – misi Joko Widodo.
Kebanyakan partai politik sudah memiliki wadah dalam ranah legislatif, Presiden terpilih tentu memiliki hak prerogati untuk memutuskan, siapa yang nantinya akan mengisi posisi di jajaran kementrian.
Sebenarnya inilah yang ideal dan diinginkan mayoritas publik. Tetapi kita juga mesti sadar terhadap realitas politik. Parpol pendukung pastilah berpendirian bahwa there is no such a free lunch in the world, meski demikian kedudukan presiden dalam sistem kabinet presidensial sangatlah kuat, berbeda dengan posisinya dalam sistem kabinet parlementer.
Bahkan Presiden juga memiliki hak untuk memberhentikan menteri dengan orang lain yang dipilihnya, hal ini karena presiden harus memahami proggres kinerja menteri yang dipilihnya dalam menjalankan segala program dan visi – misi yang telah dicanangkan sebelumnya.
Sejarah Indonesia mencatat bahwa dalam kabinet parlementer pada dasawarsa 1950-an,kabinet dapat jatuh bangun dan silih berganti dalam hitungan bulan karena kurang dukungan dari parlemen. Jadi mestinya presiden Jokowi dapat membentuk zaken kabinet dengan aman. Akan tetapi, apabila dirinyan tidak mengakomodasi aspirasi para politisi dan kelompok – kelompok pendukungnya, dapat saja terjadi goncangan – goncangan yang mengganggu kestabilan pemerintahan. Oleh sebab itu, jalan tengah yang dapat diambil adalah dengan melakukan kompromi.
Dalam hal ini Presiden bisa merekrut teknokrat yang profesional dalam bidangnya, seraya tetap mengakomodasi aspirasi para pendukung politik. Misalnya dengan meminta partai – partai pendukung untuk menunjuk perwakilan mereka dari kalangan profesional. Namun yang paling penting adalah para anggota kabinet haruslah ahli yang profesional pada portofolio yang akan menjadi tanggunghawabnya, berintegritas tinggi, inovatif dan mempunyai kemampuan menjalankan program.
Dengan demikian, keterwakilan dan keseimbangan politik tetap terjaga, pun visi dan misi presiden juga dapat terealisasi dalam masa baktinya hingga tahun 2024.
Selain itu tidak menutup kemungkinan Jokowi juga akan merekrut menteri pada periode 2014 – 2019 untuk kembali bergabung dalam kabinetnya, tentunya Jokowi akan melihat kemampuan menteri tersebut dalam bekerjasama dengan kementrian lain di kabinet. Termasuk pula kecocokan atau chemistry antara Jokowi dengan menteri tersebut.
Hal ini menunjukkan bahwa peluang para menteri di kabinet jilid pertama untuk menjabat sebagai menteri tetaplah terbuka. Utamanya untuk menteri – menteri yang dapat memenuhi target yang diberikan Jokowi kemungkinan juga akan dipertahankan.)* Penulis adalah pengamat sosial politik