Mengapresiasi Komitmen Aparatur Negara Jaga Netralitas Jelang Pilkada
Oleh: Patih Rumaga )*
Dalam sistem demokrasi, Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) merupakan salah satu momen krusial yang mencerminkan dinamika politik lokal dan nasional. Pilkada tidak hanya menjadi ajang perwujudan hak suara masyarakat, tetapi juga ujian bagi berbagai elemen pemerintahan dan aparat negara dalam menjaga netralitas serta profesionalisme. Terutama di tengah atmosfer politik yang seringkali memanas menjelang pemilihan, penting bagi aparatur negara untuk mempertahankan integritas dan netralitas demi kelancaran dan keadilan proses pemilihan.
Netralitas aparatur negara merujuk pada prinsip bahwa pegawai pemerintah dan institusi publik tidak memihak kepada salah satu calon atau partai politik dalam konteks pemilihan umum. Konsep ini penting untuk memastikan bahwa proses demokrasi berjalan secara adil dan bahwa keputusan yang diambil oleh pemerintah tidak dipengaruhi oleh kepentingan politik pribadi. Dalam konteks Pilkada, netralitas aparatur negara menjadi krusial karena berperan dalam penyelenggaraan pemilihan, pelaksanaan tugas sehari-hari, dan pelayanan publik yang harus dilakukan tanpa bias.
Netralitas ini tidak hanya melibatkan tindakan secara langsung, tetapi juga mencakup sikap dan perilaku aparatur negara dalam situasi politik yang sensitif. Aparatur negara harus mampu menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan politik pribadi dan partai. Hal ini tidak mudah, terutama ketika berbagai tekanan politik dan sosial bisa saja memengaruhi sikap individu. Oleh karena itu, menjaga netralitas merupakan tantangan besar yang memerlukan komitmen dan profesionalisme tinggi.
Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Kota Tangerang Selatan (Tangsel) menegaskan, terus berupaya menegakkan netralitas ASN Pemkot Tangsel. Adapun salah satu upaya yang dilakukannya yaitu dengan melakukan sosialisasi bagi ASN terkait larangan berpihak kepada peserta Pilkada, termasuk menyukai (like), menyebarkan (share) hingga memberi komentar (comment) dari media sosial.
Ketua Bawaslu Kota Tangsel, Muhammad Acep mengatakan pihaknya melakukan kerja sama dengan membuat surat keputusan bersama (SKB) dengan Badan Kepegawaian Negara (BKN), guna menyikapi sikap ASN dalam menggunakan media sosial sebagai cara Bawaslu untuk menekan pelanggaran netralitas ASN. Sebab pada Pemilu dan pemilihan beberapa waktu lalu, Bawaslu mendapat banyak laporan soal netralitas ASN melalui media sosial. Acep meminta semua pihak termasuk kalangan media bisa membantu dalam hal menseleksi berita hoaks dan ujaran kebencian. Acep berharap media juga bisa memberikan sajian informasi yang sejuk di masyarakat.
Terjaganya netralitas aparatur negara memiliki dampak positif yang signifikan terhadap kualitas demokrasi dan kepercayaan publik. Pertama, netralitas aparatur negara memastikan bahwa proses pemilihan berjalan dengan adil dan transparan. Ketika aparatur negara tidak terlibat dalam politik praktis, maka tentunya dapat menjalankan tugas dengan lebih objektif dan mengurangi potensi kecurangan atau penyalahgunaan wewenang.
Kedua, netralitas aparatur negara dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap institusi pemerintah. Masyarakat cenderung lebih percaya kepada pemerintah dan proses demokrasi ketika merasa bahwa institusi publik bertindak secara adil dan tidak memihak. Kepercayaan publik yang tinggi ini penting untuk stabilitas sosial dan politik, serta untuk keberhasilan implementasi kebijakan pemerintah.
Ketiga, menjaga netralitas juga dapat memperkuat integritas dan profesionalisme aparatur negara itu sendiri. Ketika aparatur negara dapat menunjukkan komitmen yang kuat terhadap netralitas, pastinya akan lebih dihormati dan dipercaya dalam melaksanakan tugas sehingga dapat meningkatkan motivasi dan semangat kerja aparatur negara karena merasa bahwa telah menjalankan peran yang penting dalam sistem demokrasi.
Ketua KPU Manokwari Christine R. Rumkabu, mengatakan netralitas ASN dan TNI-Polri tidak boleh dipandang sebelah mata karena wajib menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Pemilu. Menurutnya, netralitas aparatur akan mulai diuji saat KPU membuka pendaftaran bakal calon pada 27-29 Agustus 2024 dan selanjutnya agenda penetapan bakal paslon pada 22 September 2024.
Setelah itu pada 24 September 2024 akan mulai tahapan kampanye, berlangsung selama 60 hari hingga 24 November 2024. Saat kegiatan kampanye paslon, terdapat sedikit perbedaan antara ASN dengan TNI-Polri. Dimana TNI-Polri sama sekali tidak boleh terlibat karena tidak mempunyai hak politik untuk memilih. Sedangkan untuk ASN masih memiliki hak pilih, sehingga ASN diperbolehkan menghadiri kampanye namun dengan berbagai batasan.
Seorang ASN hanya boleh terlibat pasif saat kampanye seperti mendengarkan visi misi pasangan calon, dilarang terlibat aktif sebagai tim pemenangan atau tim kampanye, tidak boleh menggerakkan masyarakat dan dilarang menggunakan sarana dan prasarana negara. Netralitas ASN diatur dengan tegas dalam UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN dan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Sanksi bagi ASN yang tidak netral atau terlibat politik praktis dalam Pemilu adalah pemberhentian dengan tidak hormat hingga pemberlakuan hukum pidana baik penjara maupun denda.
Mengapresiasi komitmen aparatur negara dalam menjaga netralitas menjelang Pilkada adalah langkah penting dalam memperkuat sistem demokrasi dan meningkatkan kepercayaan publik. Netralitas aparatur negara merupakan prinsip dasar yang memastikan bahwa proses pemilihan berjalan dengan adil dan transparan, serta bahwa institusi publik berfungsi secara profesional dan objektif. Dengan komitmen yang kuat terhadap netralitas, kita dapat memastikan bahwa Pilkada dan proses demokrasi lainnya akan berjalan dengan lancar dan menghasilkan keputusan yang mencerminkan kehendak rakyat secara adil dan objektif.
)* Penulis adalah tim redaksi Kalimantan News