Mengapresiasi Penurunan Utang Luar Negeri
Oleh : Made Prawira )*
Masyarakat mengapresiasi penurunan Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia. Berdasarkan data Bank pada kuartal IV 2021, ULN tercatat sebesar US$ 415,1 miliar atau Rp 5.972,4 triliun (kurs Rp 14.388). Posisi ini turun dibandingkan dengan posisi ULN pada kuartal sebelumnya US$ 424,0 miliar.
Ketika ingin membangun negeri maka pemerintah sejak masa orde lama (era pemerintahan Bung Karno) memulainya dengan modal utang. Hal ini amat lazim karena pasca perang kemerdekaan, kondisi keuangan negara masih terseok-seok, karena peperangan panjang butuh biaya banyak. Plus, di sebuah negara baru yang masih membangun, belum ada ekspor barang dengan agresif seperti saat ini.
Namun kondisi tersebut diteruskan sampai di masa orde baru (karena presiden saat itu, Soeharto) ingin mempercepat modernisasi di Indonesia. Akibatnya makin lama utang Indonesia makin menumpuk. Bahkan ada pameo bahwa tiap bayi yang lahir akan membawa beban utang.
Akan tetapi kita tidak boleh pesimis karena pemerintahan Presiden Jokowi bekerja keras untuk membayar semuanya. Direktur Eksekutif Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono menyatakan bahwa utang Indonesia ke luar negeri berkurang sebanyak 5 miliar dollar, sehingga jumlah totalnya hanya 200 miliar dollar.
Pengurangan ini angkanya cukup fantastis dan wajib diapresiasi karena walau di masa pandemi, pemerintah bisa surplus penghasilan dan membayar utang luar negeri. Berarti Indonesia tidak pernah lari dari tanggung jawab membayar utang karena memang harus dibayar, sesulit apapun keadaannya.
Pemerintahan Presiden Jokowi berkomitmen untuk membayar utang karena tidak ingin membebani masyarakat di masa depan. Pameo bahwa tiap bai membawa beban utang negara yang banyak, akan terhapus. Selain itu jika utang cepat lunas maka kondisi finansial negara akan lebih sehat dan kita akan jadi negara maju, dengan cepat.
Jika utang luar negeri berkurang maka ada banyak keuntungan. Pertama, kepercayaan dari investor asing akan naik, karena mereka melihat komitmen pemerintah dalam membayar utang. Selain itu kondisi keuangan Indonesia ternyata sehat sehingga bagus untuk dijadikan tempat investasi. Apalagi ditambah dengan kondisi sosial masyarakat yang aman dan damai.
Kedua, kita akan terhindar dari krisis moneter seperti tahun 1998 lalu. Ketika melihat ke dalam buku sejarah, munculnya krisis karena pemerintah (masa orde baru) gagal bayar utang padahal bunganya terus ada. Hal ini bisa menurunkan nilai rupiah terhadap dollar dan akhirnya terjadi krisis moneter, yang bisa berimbas ke krisis kemanusiaan, sosial, dll. Sungguh mengerikan dan jangan sampai terjadi.
Jika terjadi krisis maka ditakutkan akan terjadi kenaikan nilai pajak, dengan tujuan agar pemerintah memiliki banyak dana untuk membayar utang luar negeri. Ketika pajak tinggi maka masyarakat yang akan sengsara karena tidak semuanya mampu membayar. Maka akan terjadi huru-hara dan kekacauan di masyarakat.
Oleh karena itu ketika utang luar negeri turun maka kita jadi lega karena terhindar dari kemungkinan-kemungkinan buruk tersebut. Pemerintahan Presiden Jokowi menunjukkan komitmennya dalam menjaga stabilitas keuangan nasional, dimulai dengan kewajiban bayar utang.
Kita juga wajib mengapresiasi karena di tengah pandemi, pemerintah memprioritaskan untuk bayar utang. Padahal kita tahu sendiri pandemi butuh banyak biaya untuk membayar pengobatan rakyat membeli vaksin, dan lain sebagainya.
Pembayaran utang pemerintah ke luar negeri dengan jumlah besar patut diapresiasi karena menunjukkan komitmen Presiden Jokowi untuk menyehatkan kondisi finansial Indonesia. Kita harus tetap optimis bahwa kondisi ini akan berakhir dan kondisi keuangan negara akan kembali pulih, seperti masa sebelum pandemi.
)* Penulis adalah kontributor Lingkar Pers dan Mahasiswa Cikini