Mengapresiasi Usulan Revisi UU ITE
Oleh: Salahudin Al Ayubi )*
Undang-Undang ITE sempat jadi kontroversi, karena membuat banyak orang takut untuk mencuit di dunia maya. Mereka khawatir akan ada yang tersinggung dan melaporkan ke aparat, dan terkena UU ITE. Akhirnya UU ini akan direvisi, sehingga tidak akan menjebloskan orang yang tak bersalah ke dalam bui.
Sempat ada kasus yang viral saat seseorang yang mengeluhkan pelayanan yang jelek dari sebuah tempat publik. Ia malah dilaporkan dan mendekam dalam penjara, karena tersangkut UU ITE. Masyarakat gempar karena UU yang diresmikan tahun 2008 ini ada yang pasalnya multitafsir, sehingga bisa disalahgunakan oleh oknum.
Revisi UU ITE saat ini menjadi wacana penting, agar tidak ada kasus-kasus yang seperti ini. Karena jika UU tidak direvisi, akan mengurangi kebebasan berpendapat di Indonesia. Karena pihak yang tersinggung akan dengan mudah melapor dan beralasan bahwa musuhnya melanggar UU ITE.
Presiden Jokowi amat mendukung revisi UU ITE. Menurut beliau, semangat hadirnya UU ITE pada dasarnya adalah menjaga ruang digital Indonesia agar bersih, sehat, beretika, dan produktif. Namun kebalikannya, UU ini malah digunakan untuk membuat laporan dengan merujuk pada UU ITE. Sehingga tidak ada prinsip keadilan dalam proses hukum.
Oleh karena itu, Presiden secara resmi mengajukan revisi UU ITE ke DPR. Sehingga permasalahan tersebut tidak akan terjadi lagi di Indonesia. Dalam artian, tidak ada orang yang emosi dan sedikit-sedikit melapor ke aparat, karena merasa terhina karena status orang lain. Dengan alasan ia telah melanggar UU ITE.
Menteri Komunikasi dan Informasi Rudiantara menyatakan bahwa akan ada pasal di UU ITE yang direvisi, misalnya pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik melalui sistem elektronik. Ancaman hukumannya dikurangi, dari 6 tahun jadi 4 tahun. Sehingga jika ada yang terbelit pasal itu, tidak harus masuk penjara. Selain itu, harus dengan delik aduan. Sehingga harus ada laporan resmi dari korban pencemaran nama baik.
Sayang sekali jika UU ITE yang dibuat agar internet di Indonesia bebas dari hal negatif seperti berita dan foto hoax, ancaman,dan lain-lain, malah melenceng jauh dari tuduhan awal. Ketika banyak orang saling melaporkan, bagaimana bisa ada kedamaian di Indonesia? Seharusnya dunia maya adalah tempat yang asyik untuk berkomunikasi, tetapi malah jadi ajang peperangan.
Amnesty Internasional menunjukkan bahwa kasus kebebasan berekspresi naik hingga 3 kali lipat. Pada tahun 2009-2014 hanya ada 74 kasus, tetapi pada tahun 2014-2019 menjadi 233 kasus. Jika hal ini diteruskan, maka bisa-bisa orang akan takut untuk sekadar membuat status FB atau tweet, karena akan dengan mudah dilaporkan oleh orang lain yang terbawa emosi.
Jangan sampai demokrasi di Indonesia hilang karena UU ITE. Apakah kita mau kembali ke masa orde baru yang mencekam, karena kebebasan berpendapat dicabut? Kita sudah melewati masa reformasi dan sedang bangkit agar Indonesia terus maju. Jangan sampai malah mengalami kemunduran hanya karena sebuah UU yang saklek luar biasa.
Masyarakat menyambut baik revisi UU ITE karena mereka ingin agar ada perdamaian, baik di dunia nyata maupun dunia maya. Penyebabnya karena saat ini dunia maya sudah terlalu transparan, sehingga ketika ada yang membuat status, banyak yang tersinggung karenanya. Padahal UU ini bukan seperti itu maksudnya.
Revisi UU ITE diharapkan akan mengurangi hiruk-pikuk dunia maya, sehingga tidak ada yang menyalahgunakannya, dan malah sedikit-sedikit melapor ke aparat karena tersinggung. Ketika UU ini diperbaiki, maka tidak ada orang yang salah dan harus masuk penjara, karena dia salah ketik atau dilaporkan oleh orang lain yang merasa terhina.
)* Penulis adalah kontributor Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia