Mengawasi Kesucian Masjid dari Kampanye Hitam dan Politik Praktis
Oleh : Yuda Pramono Andi )*
Pemilihan Umum Presiden tinggal menghitung hari. Kampanye terbuka pun sudah dimulai sejak 24 Maret hingga 13 April 2019. Timses kedua paslon berbondong-bondong menggelar berbagai macam kampanye dengan beragam tempat dan media. Bawaslu kembali mengingatkan agar para kedua peserta Pemilu tidak menggunakan kampanye, baik secara terang-terangan maupun tidak, di tempat ibadah yang dalam hal ini adalah masjid.
Tidak bisa dipungkiri dalam berbagai kesempatan masjid digunakan oleh para politisi untuk menggelar kampanye hitam. Dimana isu yang diangkat adalah isu rasial dan sentimen agama. Tentu masih segar dalam ingatan, ketika Ahok mencoba mencalonkan diri kembali menjadi Gubernur Jakarta tahun 2017, kedua isu tersebut diangkat untuk menjatuhkannya.
Masjid-masjid di wilayah ibukota riuh pekik-pekik kebencian yang diperdengarkan lewat toa masjid. Isi pekik-pekik itu adalah suara tidak menyukai cagub yang tidak beragama sama dengan umat Islam. Beragam doktrin pun diselenggarakan dengan isi yang menyarankan untuk memilih cagub (calon gubernur) yang beragama sama sesuai ajaran agama. Hasil akhir dari pilgub saat itu sudah bisa diketahui jawabannya bukan?
Pada umumnya, seorang jamaah yang mendatangi masjid berniat untuk beribadah dan mendapat ketenangan. Dan jika memungkinkan tempat seseorang mendapatkan hidayah Allah SWT. Itulah fungsi masjid yang sebenarnya. Bukannya mendengarkan ceramah yang berorientasi pada kampanye politik, yang belum tentu cocok dengan pandangan politik jamaah itu sendiri.
Hal inilah yang membuat kepentingan masjid dan kepentingan politik praktis tidak bisa berjalan beriringan. Memang tindakan “membajak” masjid demi kepentingan politik tidak memerlukan gelontoran dana yang banyak. Namun bukan tidak mungkin, hal itu malah menurunkan martabat masjid sebagai tempat suci yang dapat dijadikan naungan umat.
Konflik horizontal antar-sesama umat muslim pun bisa terjadi. Karena dalam bahasa kampanye politik secara tidak langsung akan saling singgung menyinggung untuk melebih-lebihkan diri. Parahnya saling singgung itu dilakukan antara orang Islam dengan orang Islam yang seharusnya bersaudara. Ketika konflik itu terjadi, maka umat Islam pun justru akan terpecah belah. Hal itulah sebaiknya juga disikapi secara bijak oleh politisi untuk memahami situasi dan kondisinya.
Apakah tidak boleh membicarakan politik dalam masjid? Secara jelas, aturan ini sudah tertuang dalam UU No 32 tahun 2004 yang melarang aktivitas kampanye di tempat peribadatan dan institusi pendidikan. Tentu saja, jika berkaitan dengan politik praktis, hal tersebut tetap tidak diizinkan. Berbeda halnya jika hal yang dibicarakan adalah pendidikan politik, ekonomi, maupun kampanye anti-korupsi. Topik-topik tersebut masih diizinkan, sebab akan memberikan pendidikan kepada masyarakat.
Masjid, sebagai tempat ibadah kaum muslim, bukanlah ruang publik dan juga tidak hanya digunakan satu organisasi Islam saja. Sebagaimana diketahui, masyarakat muslim di Indonesia memiliki organisasi-organisasi Islam yang banyak – sebut saja Nadhlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), Hizbut Tahrir, dll.
Hal ini menjadi bukti masjid adalah rumah semua kaum muslim. Karenanya, tak etis rasanya jika menggelar ceramah dengan maksud berkampanye politik. Lebih-lebih black campaigne yang menyinggung isu agama. Tentu saja, melarang kampanye politik tidak dapat ditelan secara membabi buta. Misalnya, seorang jamaah masjid datang ke masjid menggunakan kaos bergambar parpol tertentu belum tentu dimaksudkan untuk mengadakan gerakan kampanye.
Disamping itu, tidak semua jamaah simpatisan parpol atau paslon capres – cawapres tertentu. Hal inilah yang seharusnya disadari berkaitan tentang kemajemukan umat Islam. Lagipula belum tentu, seorang jamaah setuju dengan isi kampanye. Mungkin orang yang duduk bersebelah-sebelah berbeda pandangan politiknya.
Kampanye politik di dalam masjid sudah jamak dilakukan orang-orang. Tentu hal ini sulit diberantas, mengingat hal ini telah menjadi kebiasaan yang mendarah daging. Untuk menghilangkan kebiasaan ini diperlukan peran serta aktif antara masyarakat dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dalam membentuk kesadaran bahwa masjid bukanlah tempat berkampanye.
Bawaslu tampaknya perlu melakukan pendekatan persuasif pada tokoh-tokoh agama. Tujuannya supaya masyarakat tidak terpengaruh dan bisa membedakan secara jelas apakah ceramah seorang ulama mengarah pada kegiatan kampanye atau tidak. Masjid pun bisa dikembalikan fungsinya sebagai tempat berdakwah, kegiatan positif, dan menumbuhkan toleransi. Dengan demikian, hubungan sosial antar-umat muslim tidak saling bergesekan.
)* Penulis adalah Pengamat Masalah Sosial Politik