Warta Strategis

Mengingatkan Bahaya Konflik SARA

Oleh: Aprison Mandela )*

Pasca pelaksanaan seratus satu Pemilihan Kepala Daerah Serentak beberapa hari yang lalu (15/2), publik nusantara masih terfokuskan kepada salah satu wilayah yang “katanya” merupakan barometer tingkat kemajuan perpolitikan Indonesia.

DKI Jakarta, Provinsi yang lengkap dengan heterogenitas penduduknya seolah tak pernah padam memancarkan berbagai cahaya warna, mulai dari perbedaan kesukuan, agama, ras, golongan, bahkan aspek perbedaan lain yang kini mulai menyeruak seperti sisi ekonomi, sosial, hingga perspektif politik.

Membahas perspektif politik pada Pilkada Serentak DKI 2017, rasanya tak akan pernah habis bagaikan bumi bulat tak berujung. Peraturan yang mengharuskan syarat kemenangan sebuah Pilkada yakni 50% plus satu, berhasil mengkerucutkan pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur DKI yang semula tiga, kini disisakan dengan rivalitas dua pasangan calon yakni Ahok-Djarot dan Anies-Sandi.

Telah disangka, mengetatnya perebutan kursi di Pilkada DKI akan melahirkan sebuah istilah “kompor” yang terus menerus akan membenamkan publik, perihal sentimensi  Kesukuan, Ras, Agama, dan Golongan yang dibalut menjadi sebuah amunisi demi mendapatkan sebuah kursi DKI 1. Terlebih dengan adanya salah satu calon yakni Ahok, memiliki latar belakang yang dianggap oleh beberapa kelompok sentimentris berbeda secara umum lantaran berasal dari etnis yang dianggap pendatang sekaligus pemeluk agama minoritas.

Maka tak ayal beberapa pihak dan kelompok kepentingan justru melupakan peluang terciptanya konflik SARA yang bersifat komunal, serta potensi mengalirkan ribuan liter darah dan nyawa untuk kesekian kali apabila SARA secara terus menerus dikombinasikan dengan sebuah kepentingan politik pragmatis.

Konflik Suku Sampit Tahun 2001

Berdasarkan Jurnal yang berjudul Konflik Dayak-Madura di Kalimatan Tengah karangan Ruslikan, Dosen bidang Ilmu Sosial FKIP Universitas Palangkaraya Tahun 2001, di Provinsi Kalimatan Tengah, sempat meledak konflik antara etnik Dayak dan Etnik Madura pada awal tahun 2001. Konflik tersebut menurut salah satu pakar sosiologi dan antropologi Selo Soemardjan, sebenarnya merupakan konflik yang bersifat laten atau dengan kata lain konflik yang terbenam dibagian atas namun terus mengakar dibagian bawah. Hal tersebut.pecah dan semakin memakan banyak korban tatkala permasalahan tersebut dikombinasikan dengan SARA yakni isu tewasnya seorang warga Dayak yang dibunuh oleh warga Madura hingga dugaan kasus pemerkosaan gadis Dayak.

Konflik Agama Ambon Tahun 1999

Selanjutnya konflik SARA yang tak kalah tragis terjadi pada awalan era reformasi tahun 1999 di Ambon. Kerusuhan besar-besaran yang melanda masyakarat Ambon sejak bulan Januari tahun 1999, berkembang menjadi sebuah pembantaian brutal yang merampas ribuan jiwa serta menghancurkan tatanan keharmonisan kehidupan bermasyarakat. Konflik tersebut semakin memuncak dan meledak ketika beberapa kelompok mulai mengumandangkan bendera perang dengan pernyataan provokatif dan membuat garis pembatas antara agama Islam dan Nasrani.

Konflik Etnis Tahun 1998

Masih terngiang jelas di benak para pejuang orde reformasi, catatan sejarah perihal krisis moneter yang terjadi di tahun 1998 berhasil menciptakan jurang kesenjangan sosial dan ekonomi. Krisis moneter yang semula hanya mengundang sentimen kelompok mahasiswa terhadap arogansi pemerintahan Presiden Soeharto justru berlanjut terhadap kerusuhan yang menular pada konflik antar etnis pribumi dan Tionghoa, dimana banyak aset yang dimiliki etnis Tionghoa konon dijarah dan dibakar oleh massa yang emosi. Bahkan tak segan sampai disana, tindak kekerasan dan pelecehan seksual terhadap para wanita dari etnis Tionghoa kala itu juga menjadi catatan kelam konflik SARA yang sempat terjadi hampir dua dasawarsa silam.

Konflik Antar Golongan Tahun 2000

Salah satu kemajemukan Bangsa Indonesia yang harus dibanggakan dan tak dikenal oleh bangsa lain adalah kemajemukan dari sisi beragama. Indonesia yang memiliki banyak golongan dalam sebuah agama, dicontohkan dengan salah satunya antara lain agama Islam.

Posisi Islam yang eksis dikenal dengan golongan Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, sempat tergerus sentimensi tatkala kelahiran golongan Ahmadiyah yang sempat memicu kontroversi dikalangan para ulama bangsa ini. Melalui ajaran yang dianggap menyimpang dan dipelintir dari sumber Al-Quran, Sunnhah, hingga hadists-hadits para sahabat Rasul, eksistensi golongan Ahmadiyah di ibu pertiwi sempat menjadi trending topik tatakala kelompok ini diketahui “nyeleneh”  lantaran salah satu kepercayaan mereka yang mengakui bahwa Mirza Gulam Ahmad sebagai Nabi terakhir umat Islam. Begitupun dengan konflik antar golongan yakni Syiah dan Sunni. Dimana keberadaan kelompok syiah sempat menjadi target pembersihan dari ormas-ormas keagamaan dalam negeri, lantaran ajaran yang mereka bawa cenderung bersifat sesat.

Dari keempat sampel tragedi diatas, tidak dapat dipungkiri bahwa riwayat konflik dan sentimen SARA yang panjang dimasyarakat Indonesia, masih bersifat laten hingga saat ini. Minimnya kesadaran dan kedewasaan yang terbentuk didiri masyarakat Indonesia, merupakan dampak dari pengotakan sistem politik jangka pendek yang hanya mementingkan ego dan nafsu sebagian kelompok belaka.

Apabila dikaitkan dengan pesta demokrasi saat ini, proses kampanye yang dilakukan oleh beberapa kelompok kepentingan politik rawan akan isu SARA. Terlebih dengan semakin demokratisnya perpolitikan Indonesia yang perlahan namun pasti, mulai mengakomodir bagian per bagian masyarakat minoritas dalam negeri, untuk turut adil berpartisipasi dalam menjalankan tatanan keutuhan Pemerintahan Republik Indonesia.

Tentunya perbedaan antara kelompok minoritas dan mayoritas tersebut dapat dipastikan akan membangunkan sikap primordialisme dan etnosentrisme masing-masing kelompok. Padahal didalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah, telah diatur perihal definisi Kampanye Hitam atau Black Campaign, yang didalamnya mengakomodir kampanye untuk menjatuhkan lawan politik melalui isu-isu yang tidak berdasar seperti halnya isu SARA.

Prediksi terkait maraknya isu SARA yang diumbar beberapa kelompok kepentingan politik sebagai amunisi persiapan Pemilukada tahap kedua 14 April mendatang, hendaknya kembali ditelaah dan dicermati secara seksama. Jangan malah karena sebuah kekuasaan malah justru hak dan aspek kemanusiaan dilupakan. Jangan juga karena sebuah uang semua lini terlena dan melupakan aspek ke-Bhinekaan.

Perlu diingat bahwa kemerdekaan Bangsa ini mutlak tercipta karena sandaran heterogenitas bangsa yang tiada taranya. Bukan karena satu suku, satu agama, satu ras, ataupun satu golongan saja.

Hanya mengingatkan bahwa dampak dan efek yang dihasilkan dari sebuah konflik SARA bukan sekedar harta dan nyawa semata, coba bertolak kepada persatuan dan kesatuan Bangsa apakah tetap eksis saat semua memadu kepentingan diatas perbedaan yang ada?

 

)* Mahasiswa Pasca Sarjana Hubungan Internasional Universitas Indonesia

 

Show More

Related Articles

Back to top button

Adblock Detected

Kami juga tidak suka iklan, kami hanya menampilkan iklan yang tidak menggangu. Terimakasih