Menilik Karir Militer Prabowo Yang Suram
Penulis : Rizqy Ahmad*
Isu kasus penculikan 1998 yang menyebut-nyebut nama calon presiden Prabowo Subianto kembali merebak menjelang pemilihan presiden 2019. Pada pilpres 2014, isu yang sama beredar. Surat Dewan Kehormatan Perwira (DKP) tentang pemberhentian Letnan Jenderal Prabowo Subianto pada 1998, tersebar di sosial media.
Isu itu semakin kencang ketika Jenderal TNI (Purn) Fachrul Razi membenarkan substansi surat keputusan Dewan Kehormatan Perwira (DKP) yang beredar luas di sosial media, dalam sebuah wawancara di salah satu stasiun televisi swasta pada 2014. Surat tersebut merekomendasikan Prabowo diberhentikan dari dinas keprajuritan. Fachrul adalah Wakil Ketua DKP yang ikut menandatangani surat keputusan itu dan beliau juga mengungkit bahwa Prabowo kurang pantas menjadi RI-1, karena rekam jejak mantan Danjen Kopassus itu di militer.
Dalam surat tersebut tertulis bahwa Prabowo sengaja melakukan kesalahan dalam melakukan analisis tugas walaupun mengetahui bahwa KSAD sebagai pembina tidak berwenang untuk memberi tugas tersebut. Prabowo juga melaksanakan pengendalian operasi dalam rangka stabilitas nasional, sesuatu yang bukan menjadi wewenangnya, melainkan wewenang Panglima ABRI. Tindakan tersebut dilakukan berulang-ulang seperti pelibatan satgas di Timor Timur dan Aceh dan pembebasan sandera di Wamena, Irian Jaya. Lalu, memerintahkan anggota Satgas Mawar dan Satgas Merpati untuk melakukan pengungkapan, penangkapan, dan penahanan aktivis kelompok radikal dan PRD yang diketahuinya bukan merupakan wewenangnya. Prabowo juga disebut tidak melaporkan operasi yang dilakukan kepada panglima dan baru dilaporkan pada awal April 1998 setelah desakan Kepala Badan Intelijen ABRI. Selain itu, Prabowo disebut tidak melibatkan staf organik dalam prosedur staf, pengendalian, dan pengawasan. Prabowo tidak melaksanakan tugas dan tanggung jawab komando dalam pengendalian tindakan Satgas Merpati dan Satgas Mawar. Prabowo juga sering ke luar negeri tanpa izin dari KSAD ataupun Panglima ABRI. Tindakan-tindakan Letjen Prabowo Subianto cenderung pada kebiasaan mengabaikan sistem operasi, hierarki, disiplin dan hukum yang berlaku di lingkungan ABRI. Selain itu, tidak mencerminkan etika profesionalisme dalam pengambilan keputusan, kepatuhan pada norma hukum, norma-norma yang berlaku dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, norma-norma yang berlaku di lingkungan TNI-AD/ABRI dan norma-norma pelibatan Kopassus sendiri, seperti yang tertulis dalam surat itu.
Prabowo disebut tidak mencerminkan tanggung jawab komandan terhadap tugas dan terhadap prajurit, tidak mencerminkan etika perwira, khususnya unsur pembela kebenaran dan keadilan, kesetiaan, dan ketaatan, perikemanusiaan, serta menjunjung tinggi nama dan kehormatan Korps Perwira ABRI. “Tindakan tersebut tidak layak terjadi dalam kehidupan prajurit dan kehidupan perwira TNI. Tindakan tersebut merugikan kehormatan Kopassus, TNI-AD, ABRI, bangsa, dan negara,” seperti yang tertulis dalam isi surat tersebut. Awalnya, kasus ini akan dibawa ke Mahkamah Militer, namun atas kesepakatan bersama akhirnya diselesaikan melalui DKP dan berujung pada pemecatan Prabowo dari kesatuan TNI. Prabowo dalam laporan DKP dipastikan mengetahui persis operasi penculikan yang dilakukan oleh anggota Kopassus yang tergabung dalam Tim Mawar.
Sebelumnya, Prabowo pernah meninggalkan tugas saat mengikuti pendidikan militer di Magelang, Jawa Tengah. Prabowo kemudian pulang ke Jakarta. Tidak lama kemudian, ia diantar kembali ke sekolah militer oleh bapaknya. Di militer ini dikenal istilah desersi (lari dari dinas ketentaraa). Dari kejadian itu menunjukkan bahwa Prabowo tidak memiliki kematangan berpikir, kestabilan emosi dan terlalu kekanak-kanakkan. Tidak hanya itu, lanjut Prabowo juga memiliki catatan buruk saat berdinas di ketentaraan seperti beberapa kali berupaya melakukan perebutan kekuasaan bersenjata.
Publik harus mengetahui substansi mengapa DKP merekomendasikan pemberhentian terhadap Prabowo. Substansi surat DKP itu bisa menjadi salah satu pertimbangan publik untuk memilih calon presiden yang tepat. Harusnya ini jadi perhatian kita semua, bagaimana seorang militer yang harus taat pada Sapta Marga prajurit, tetapi (Prabowo) langgar hampir semua pasal yang ada. Kita tahu prajurit harus diikat hierarki komando yang padu, penghormatan pada HAM, taat konstitusi, ini pelanggaran berat yang dilakukan.
)* Mahasiswa FISIP Universitas Mulawarman