Menimbang Indonesia Dalam Naungan Prabowo
Oleh : Grace Septiana )*
Menduduki kursi nomor wahid di Indonesia tentu menjadi impian dari banyak orang, baik tokoh politik, akademisi, pakar hukum, hingga masyarakat biasa. Berbagai fasilitas, pendapatan hingga kehormatan sebagai Presiden tentunya cukup menggiurkan bagi sejumlah individu dengan motivasi yang beragam. Namun, di tengah keinginan sejumlah orang tersebut, sering sekali mereka lupa akan beratnya tanggung jawab memimpin Indonesia sebagai satu negara yang sangat kompleks.
Salah satu tantangan bagi Presiden Indonesia dari segi sosial budaya ialah menyatukan keberagaman di Indonesia, yang terdiri dari beragam suku dan agama. Tentu bukan hal yang mudah apalagi jika ada upaya provokasi dari pihak-pihak tertentu. Di sisi lain, dari segi geografis, Indonesia juga cukup kompleks. Sebagai negara kepulauan, Presiden Indonesia harus mampu mengatur pembangunan sedemikian merata di seluruh wilayah untuk menghindari adanya bibit separatis. Begitu juga dengan permasalahan lainnya yang tidak kalah kompleks penyelesaiannya. Tentu untuk mengatasi tantangan tersebut, Presiden yang terpilih harus memiliki kualifikasi dan kompetensi serta kepribadian yang kuat.
Belakangan, salah satu calon Presiden dalam Pilpres 2019, Prabowo Subianto mengatakan Indonesia akan sejahtera jika ia terpilih sebagai Presiden, sebaliknya jika ia tidak terpilih maka Indonesia akan punah keberadaannya. Mendengar pernyataan tersebut, agaknya, Prabowo sangat percaya diri akan kemampuannya dalam memimpin Indonesia dalam periode 2019 – 2024. Namun, apakah Prabowo memiliki kompetensi dan kepribadian yang layak?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, tentu kita perlu melihat cara-cara pengambilan keputusan Prabowo Subianto dalam menyelesaikan masalah. Dalam dua bulan terakhir, Prabowo pernah memperlihatkan cara pengambilan keputusan yang sangat tidak teliti dan sembrono terkait kasus hoax Ratna Sarumpaet. Prabowo Subianto secara terburu – buru mengadakan konferensi pers untuk membangun narasi yang seolah menyudutkan pemerintah sebagai dalang di balik kasus Ratna. Berdasarkan kasus tersebut, terdapat kesalahan fatal Prabowo yang seharusnya tidak dilakukan seorang calon presiden.
Prabowo Subianto tidak melakukan validasi atas suatu permasalahan yang dihadapinya. Bergantung pada satu sumber, ia berani mengambil keputusan. Tentu akan sangat disayangkan, jika Presiden tidak melakukan validasi dalam mengambil kebijakan. Mungkin, dalam kasus Ratna Sarumpaet, yang terkena imbas dari langkah Prabowo hanyalah nama partai dan elektabilitasnya. Namun, jika sikap Prabowo terjadi di dalam ranah pemimpin negara, maka yang terkena imbas adalah seluruh masyarakat Indonesia dan tak bisa dibayangkan kerugian apa saja yang akan diderita.
Selain cara pengambilan keputusan, kepribadian Prabowo yang emosional dalam menanggapi permasalahan juga menjadi hal fatal yang tidak boleh dilakukan oleh Presiden. Dalam rapat bersama Forum Dewan Penasehat 212, Usamah, Ketua Permusi, mengatakan bahwa Prabowo memukul meja rapat karena ada yang mempertanyakan keislamannya. Prabowo dikatakan terlihat sangat marah dan emosional saat dikritik. Bahkan, tingkahnya yang temperamental tersebut sempat membuat ulama yang hadir dalam forum tersebut menjadi terperangah dan terkejut. Sejatinya, Presiden yang profesional tentu harus mampu menerima kritik dan saran dari masyarakat, tokoh agama hingga para pengamat. Bagaimana mungkin seorang Presiden mampu mengambil keputusan yang mengakomodir kepentingan masyarakat banyak jika ia tidak bisa mendengar kritik dan saran. Hal tersebut nantinya dapat mengganggu objektivitas seorang Presiden dalam mengambil keputusan untuk negara. Lagi-lagi, yang dirugikan atas sikap seperti itu adalah negara dan seluruh rakyatnya.
Berdasarkan rentetan kejadian Prabowo dalam mengambil keputusan dan bertindak tersebut, dapat dinilai bahwa Prabowo Subianto masih belum memiliki kualifikasi untuk memimpin Indonesia. Sebagai negara yang penuh dengan permasalahan kompleks, Indonesia membutuhkan pemimpin yang mampu berpikir jernih tanpa diganggu dengan kepribadiannya yang labil dan temperamental. Di samping itu, Indonesia juga tidak membutuhkan Presiden yang sembrono melainkan Presiden yang mampu mengambil keputusan dengan penuh pertimbangan dan kematangan. Oleh karenanya, masyarakat perlu lebih rasional dan logis dalam memilih. Sejatinya, suara rakyatlah yang akan menentukan arah bangsa Indonesia. Jangan sampai kita salah memilih Presiden.
)* Penulis adalah Mahasiswa FISIP Universitas Dharma Agung