Menjadi Tuan Rumah KTT AIS, Indonesia Berkomitmen Lestarikan Ekosistem Laut dan Pesisir
Oleh: Gema Octoyudha
Ditunjuknya menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Archipelagic and Island State (AIS) di Nusa Dua, Bali pada 10-11 Oktober mendatang memperlihatkan kepercayaan dunia terhadap penanganan krisis iklim yang tengah dikerjakan pemerintah Indonesia.
KTT AIS merupakan sebuah wadah kerja sama antar negara pulau dan kepulauan sedunia yang bertujuan memperkuat kolaborasi untuk mengatasi permasalahan global, khususnya pembangunan kelautan. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, lewat forum ini Indonesia diharapkan menjadi inisiator dalam menangani isu-isu global terkait kelautan. KTT AIS berpotensi menghasilkan kesepakatan yang mengarah pada perbaikan kualitas ekosistem pesisir dan laut.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan negara-negara kepulauan di Pasifik sangat berkepentingan terhadap Forum AIS. Banyak negara kecil di kawasan itu bisa hilang jika permukaan air laut naik akibat meningkatnya suhu Bumi karena krisis iklim.
Oleh sebab itu, dalam pertemuan Forum AIS, Indonesia selalu berbagai pengalaman terbaik, seperti soal penanaman kembali tanaman bakau, penanganan terumbu karang, sampah laut, dan digitalisasi. Pihaknya mengklaim Indonesia bisa menjadi contoh bagi anggota Forum AIS.
Terkait penanganan krisis iklim, pemerintah tidak akan membuat kebijakan yang akan menghancurkan generasi mendatang. Indonesia sangat kaya akan sumber daya alam dan Indonesia termasuk salah satu negara yang berhasil menurunkan jumlah sampah plastik di laut hingga 39 persen.
Pelaksana tugas Staf Ahli Bidang Ekonomi, Sosial, dan Budaya Kementerian Kelautan dan Perikanan, Hendra Yusran Siry menjelaskan sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki lebih dari 17 ribu pulau dan dua pertiga wilayahnya adalah lautan dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia.
Indonesia juga salah satu negara yang paling banyak memproses sampah di darat, sehingga mengurangi jumlah sampah ke laut. Indonesia juga berhasil menanam bakau di lahan seluas 600 ribu hektare tahun depan dan menurunkan laju deforestasi.
Menurutnya, Indonesia memiliki potensi untuk menghasilkan energi listrik secara ramah lingkungan sebesar 3.600 gigawatt, termasuk panel surya. Indonesia sedang memfinalisasi proyek energi terbarukan sebesar 62 gigawatt dengan Uni Emirat Arab.
Dari 17 ribu pulau yang ada di Indonesia, hampir 80 persennya adalah pulau-pulau kecil (luasnya kurang dari 200 kilometer persegi versi Perserikatan Bangsa-Bangsa). Indonesia juga merupakan daerah pertemuan dua arus penting, yakni Samudera Hindia dan Samudera Pasifik sehingga menjadikan wilayah laut Indonesia sebagai pusat keanekaragaman hayati.
Tantangannya saat ini adalah bagaimana mengoptimalkan pengelolaan sumber daya alam tersebut. Kementerian Kelautan dan Perikanan memiliki lima kebijakan ekonomi ramah lingkungan di antaranya bagaimana Indonesia melakukan konservasi hingga mencapai 30 persen dari luas perairan Indonesia.
KTT tersebut adalah momentum yang baik untuk menjalin kesepakatan tingkat regional dan global, serta dapat turut memengaruhi perbaikan kualitas ekosistem pesisir dan laut khususnya dari pencemaran laut oleh sampah plastik. Pencemaran di laut tidak hanya berasal dari satu lokasi saja. Pencemaran juga bersumber dari berbagai wilayah di dunia karena laut terkoneksi dengan berbagai negara. Menurutnya, sampah dan polutan yang mencemari laut DKI Jakarta tidak hanya berasal dari Jakarta saja, namun dapat berasal dari wilayah atau bahkan negara lain.
Sementara, penurunan kualitas ekosistem pesisir dan laut dapat memengaruhi berbagai aspek kehidupan mulai dari ekologi, sosial, hingga ekonomi. Pada aspek sosial, keberadaan sampah plastik dapat mengurangi estetika pesisir yang mengurangi kenyamanan masyarakat dalam menikmati keindahan pesisir serta potensi pengembangan wisata bahari. Untuk aspek ekologi, sampah plastik dapat melukai biota laut serta kandungan mikroplastik yang masuk ke dalam tubuh ikan dapat mempengaruhi kesehatan manusia.
Pengamat Pariwisata dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Chusmeru menilai pentingnya penyelenggaraan KTT AIS Forum 2023 di Bali demi menjaga keberlangsungan laut Indonesia di masa depan yang penuh tantangan. Salah satunya adalah tantangan eksploitasi pesisir dan pencemaran laut.
Penyelenggaraan KTT AIS Forum 2023 juga disebut dapat mendatangkan manfaat bagi pengembangan wisata pesisir di Indonesia karena akan tercipta kolaborasi dan inovasi di antara anggota forum. Chusemeru menilai pengembangan wisata pesisir tersebut selayaknya diserahkan kepada desa wisata karena memiliki Sumber Daya Manusia (SDM) yang tahu persis tentang potensi wisata di daerahnya.
Selain itu pengelola desa wisata juga dinilai tahu persis bagaimana menjaga kelestarian lingkungan di daerahnya. Di sisi lain, pengembangan wisata pesisir oleh desa wisata juga menjadi salah satu upaya percepatan pembangunan desa terpadu untuk mendorong kesejahteraan masyarakat di dalamnya. Desa wisata yang telah maju nantinya bisa memberikan efek domino berupa peningkatan kualitas lingkungan, kesejahteraan masyarakat, dan kelestarian budaya.
Pihaknya menilai jika pengembangan pesisir lebih banyak didominasi oleh investor yang datang dari luar desa maka dikhawatirkan akan terjadi eksploitasi pesisir di Indonesia yang berdampak terhadap keberlangsungan lingkungan. Untuk meraih capaian target wisata pesisir di Indonesia, perlu dikembangkan dalam bentuk quality tourism (pariwisata berkualitas}, bukan quantity tourism (mengutamakan jumlah wisatawan) dengan mengedepankan prinsip-prinsip sustainable tourism atau pariwisata yang berkelanjutan.
Untuk itu pariwisata berkualitas ini harus menjaring secara selektif wisatawan yang akan masuk, untuk memastikan hanya wisatawan yang memenuhi kualifikasi dan memang berorientasi pada rekreasi sekaligus juga konsentrasi terhadap lingkungan saja yang bisa masuk ke kawasan wisata pesisir.
Keberanian Indonesia mulai mengambil peran sebagai pemimpin dalam forum internasional seperti KTT AIS 2023 ini tentunya melewati banyak tantangan. Salah satunya adalah masalah kepercayaan diri dari dalam negeri. Hal ini, karena Indonesia merupakan negara berkembang dengan sumber daya yang terbatas. Walaupun demikian, Indonesia tetap maksimal dalam menyelenggarakan acara tersebut dan tidak kalah dengan negara maju lainnya.
)* Penulis adalah Mahasiswa Politeknik Pariwisata NHI Bandung