Polemik Politik

Menolak Demonstrasi Di Tengah Pandemi Covid-19

Oleh : Nusa Praha )*


Adanya seruan segelintir Mahasiswa dan aktivis untuk melangsungkan demonstrasi pada 15 Juni 2020 patut disayangkan. Selain memaksakan isu demonstrasi dan rentan terpapar Covid-19, seruan demonstrasi mahasiswa tersebut adalah contoh tidak pekanya mereka terhadap penderitaan bangsa yang saat ini fokus menangani wabah penyakit menular.
Demonstrasi ini seakan menjadi lagu lama yang didengungkan kembali. Padahal status pandemi secara nasional belum berakhir. Namun masih saja muncul ajakan untuk berkerumun dan melakukan demonstrasi.
Kegaduhan terkait dengan pemakzulan presiden tersebut diawali dengan diskusi mahasiswa di Fakultas Hukum UGM. Dalam video yang beredar, salah satu dari aliansi BEM Indonesia mengatakan bahwa Mahasiswa memiliki fungsi sebagai social control.
Namun sepertinya mahasiswa tersebut terlampau terburu-buru dalam menyampaikan orasinya, atau lebih tepatnya belum paham 100 persen apa itu social control. Jadi social control itu bukan hanya urusan pemecatan presiden.
Konkritnya, social control adalah suatu mekanisme untuk mencegah penyimpangan sosial serta mengajak dan mengarahkan masyarakat untuk berperilaku dan bersikap sesuai norma dan nilai yang berlaku. Dengan adanya kontrol sosial yang baik tentu diharapkan mampu meluruskan anggota masyarakat yang berperilaku menyimpang / membangkang.
Makna social kontrol amatlah luas kawan-kawan, coba tengok kanan kiri, masihkah adakah masyarakat yang hanya menggantungkan masker di lehernya? Atau masihkah ada masyarakat yang sudah nekat berkumpul tanpa mengindahkan protokol.
Lalu apakah Presiden Joko Widodo telah menyimpang dalam menangani pandemi. Padahal saat covid-19 dinyatakan sebagai pandemi, Jokowi telah membentuk gugus tugas covid-19 yang melibatkan BNPB, Seluruh kementerian/lembaga, POLRI, TNI dan Pemerintah Daerah.
Selain itu, pada 20 Mei kemarin. Presiden Jokowi telah meluncurkan 55 produk riset teknologi dan inovasi, dimana kesemuanya itu merupakan produk lokal yang ditujukan untuk menangani covid-19.
Lupakah wahai aktifis yang turun ke jalan? bahwa ketika Indonesia sedang tidak baik-baik saja, ketika Ibu Pertiwi sedang lara, lalu kalian tambah luka itu dengan aksi Demonstrasi jika hal tersebut terlaksana lantas apa kabar physical distance?
Selain organisasi mahasiswa, aliansi tersebut juga mengundang kelompok yang sebelumnya perseberangan dengan pencalonan Jokowi sebelum jabatan pada periode 2.
Di sisi lain, mengadakan demonstrasi pada saat ini tentu merupakan sesuatu yang semestinya tidak perlu dilaksanakan.
Jangan-lah merencanakan demonstrasi hanya dengan alasan agent of change. Agen perubahan saat ini tidak harus diwujudkan dengan aksi massa.
Selain itu bentuk pengabdian masyarakat juga beragam, tidak melulu demo dengan dalil sambungan lidah masyarakat. Di tengah pandemi covid-19, bentuk pengabdian tentu saja bisa dimulai dari hal yang paling kecil, yakni membeli produk lokal atau membagikan bantuan sosial kepada masyarakat yang membutuhkan.
Demo di saat pandemi seperti ini, bisa diibaratkan seperti rumah yang sedang krisis, bukannya anggota keluarga ikut membantu, tetapi malah menambah masalah.
Mahasiswa sudah sepatutnya menjadi tonggak pengabdian masyarakat. Dengan kreatifitas dan intelegensia. Meski demikian, apapun yang akan dilakukan tentu harus memperhatikan segala aspek yang terkait dengan gerakan tersebut dan efeknya.
Salah efek yang mungkin terjadi pasca demo adalah lemahnya Indeks Harga Sham Gabungan (IHSG). Berita politik di Indonesia tentu akan berpengaruh ke pasar saham.
Alih-alih menjadi sambungan lidah masyarakat, justru demonstrasi besar-besaran akan berdampak pada timbulnya masalah baru seperti kemacetan yang justru menghambat aktifitas masyarakat.
Ketika demonstrasi memanas, bukan tidak mungkin emosi menjadi lepas kontrol hingga berujung pada gesekan fisik. Kalau sudah seperti ini masalah baru pun muncul, selain membahayakan diri, beberapa kantor akan terpaksa meliburkan karyawan dengan alasan keamanan.
Ketika BBM naik, tentu menjadi hal mainstream bagi mahasiswa untuk melakukan aksi turun jalan, beragam kritikan pedas dilontarkan karena kenaikan BBM dianggap sebagai sebuah prestasi jempol bawah.
Padahal, mahasiswa dengan kemampuan akademis yang baik sudah semestinya berpikir tentang bagaimana memanfaatkan sumber daya alam lain untuk bahan bakar, bukan lantas maksa bakar ban.
Demonstrasi pada saat ini tentu menjadi hal yang tidak tepat. Indonesia sedang lara, yang dibutuhkan saat ini adalah sikap saling bantu dan saling peduli antar sesama. Tidak dengan turun ke jalan karena masih banyak cara lain untuk mengungkapkan kekecewaan.
)* Penulis adalah mahasiswa Universitas Pakuan Bogor

Show More

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button

Adblock Detected

Kami juga tidak suka iklan, kami hanya menampilkan iklan yang tidak menggangu. Terimakasih