Menolak Hasil Pemilu Karena Kalah
Oleh: Sandra Ariyanti*
Hingga saat ini KPU belum mengumumkan hasil resminya, namun Capres nomor 02 Prabowo Subianto menolak hasil Pemilu 2019 karena dianggap sarat akan kecurangan. Ternyata hal serupa juga terjadi di sejumlah negara, dimana ada seseorang yang kalah lalu menolak hasil pemilu.
Belum lama ini, Prabowo Subianto telah berorasi dan menyatakan sikap menolak hasil penghitungan yang akan dilakukan pada 22 Mei 2019. “Kami masih menaruh harapan kepadamu (KPU). Tapi sikap saya yang jelas saya akan menolak hasil penghitungan pemilu, Hasil penghitungan yang curang. Kami tidak bisa menerima ketidakadilan dan ketidakjujura,” tutur Prabowo
Rupanya, selain menolak hasil Pilpres 2019, Prabowo juga enggan mengajukan gugatan maupun melaporkan dugaan kecurangan ke Mahkamah Konstitusi. Ketua DPP Partai Gerindra, Raden Muhaammad Syafi’i menututkan, bahwa Prabowo – Sandiaga tidak akan melaporkan ataupun mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Hal tersebut disebabkan karena pihaknya sudah tidak percaya lagi dengan MK.
Sementara itu, sikap berbeda ditujukan oleh Partai Demokrat, dimana Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sudah menyarankan kepada Prabowo agar tetap bersabar menunggu hasil rekapitulasi perolehan suara Pemilu 2019 oleh KPU. “Sudah, sudah kami sampaikan sejak awal,” tutur Komandan Kogasma Partai Demokrat.
Saran yang ia lontarkan tersebut, didasari pada sikap Partai Demokrat yang memiliki komitmen untuk menggunakan cara – cara konstitusional dalam penyelenggaraan pemilu. Tentunya dengan tetap menjunjung tinggi norma dan etika dalam berpolitik dan berdemokrasi. “Kami juga mencegah keterlibatan kader – kader kami dalam bentuk niat apalagi tindakan yang bersifat inkonstitusional.” Tukas AHY.
Meski Demokrat menyatakan sepakat dengan sikap Prabowo terhadap hasil Pilpres 2019, namun jika penolakkan tersebut dilakukan dengan cara yang melanggar konstitusi hingga mengadu domba rakyat, dan partai Demokrat tidak mau terlibat.
Disisi lain, Ketua DPP Partai Berkarya, Badaruddin Andi Picunang justru mengkritik pernyataan Prabowo yang menolak hasil Pilpres 2019. Lantaran Pilpres dan Pileg yang dilaksanakan secara serentak, sudah semestinya Prabowo juga menolak hasil pileg 2019.
Hal serupa juga dlakukan oleh peserta pemilu di negara lain. Mereka gagal mendapatkan kursi tahta tertinggi sebagai presiden, lantas menyatakan menolak hasil pemungutan suara.
Pada 2013 silam, Calon Presiden Venezuela dari partai oposisi, Henrique Capriles menolak hasil pemilu. Pasalnya, dirinya berpendapat bahwa ada sebuah rencana untuk mengubah hasil pemilihan presiden usai kematian presiden Hugo Chaves. Dalam pemilu tersebut, Capriles berhadapan langsung dengan kandidat partai petahana. Nicholas Maduro. Dalam pemilu tersebut, Maduro dinyatakan menang dalam pemilu presiden usai meraih 51 persen suara.
Capriles juga menduga bahwa pemerintah telah melakukan kecurangan dengan menekan para PNS agar memilih Maduro. Karena itu, dia meminta Dewan Pemilu untuk mengaudit hasil pemilu. Namun Dewan Pemilu tidak menemukan perbedaan yang signifikan usai audit dilaksanakan, dan Capriles menganggap bahwa audit tersebut sebagai lelucon semata.
Akibat hasil penolakan hasil pemilu tersebut, kerusuhan pun tak dapat terelakkan dan menewaskan 7 orang dan 61 orang luka – luka.
Penolakan hasil pemilu juga terjadI hingga 2 jilid, dimana pada tahun 2018, Maduro kembali memenangkan pemilu. Pimpinan partai oposisi Juan Guaido memboikot hasil pemilu dan menyerukan demo setiap hari untuk memprotes kepemimpinan Maduro.
Dari kisruh tersebut, alhasil menjadi peluang bagi Amerika Serikat dan Rusia untuk ikut campur. Dampaknya, Venezuela mengalami sejumlah krisis ekonomi dan permasalahan sosial. Apalagi ketika Juan Guaido yang didukung Amerika Serikat, mendeklarasikan diri sebagai Presden sementara Venezuela.
Jika Prabowo masih tetap melakukan penolakan dengan jalur inkonstitusional, bukan tidak mungkin kekacauan juga akan menghiasi berita di berbagai media, dan hal ini pun jelas mengancam terkoyaknya persatuan hingga polarisasi politis yang semakin mengerak.
Padahal apa yang dilakukan KPU selama ini, telah sesuai dengan azas transparan dan akuntabel. Sehingga tidak ada alasan bagi pihak manapun untuk tidak menerima hasil dari proses yang memang sudah sesuai dengan azas tersebut.
Padahal apabila ada yang merasa keberatan ataupun tidak puas dengan suatu hal dalam proses rekapitulasi, mereka bisa menyampaikannya dalam forum rapat pleno dengan melampirkan data – data miliknya.
*) Penulis adalah Mahasiswi UNY