Polemik Politik

Menolak Reuni 212 yang Bermuatan Politis

Oleh : Ismail )*

Persaudaraan Alumni (PA) 212 berencana menggelar reuni pada 2 Desember 2019. Seperti tahun-tahun sebelumnya, agenda keagamaan ini berpotensi besar digunakan untuk kepentingan politik tertentu.

Ratusan orang yang hadir dalam reuni 212 tahun lalu menunjukkan bahwa gerakan ini mampu bertahan lama. Namun gerakan yang awalnya bertujuan untuk menjebloskan penista agama tersebut, akhirnya berbelok pada gerakan yang mendukung satu calon presiden kala itu, hal tersebut tentu saja mengindikasikan bahwa politik identitas masih laris.

Sejumlah peserta reuni 212 kala itu juga kedapatan mengelu-elukan nama sang calon presiden. Kubu Prabowo saat itu menolak menyebut reuni tersebut merupakan praktik politik identitas, namun tak menampik bahwa ada muatan politis dalam acara tersebut.

            Situasi ini mencerminkan semakin meningkatnya gerakan konservatif dalam Islam dan politik identitas di Indonesia, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Azyumardi Azra berpendapat, bahwa hal tersebut dipengaruhi oleh apa yang terjadi di luar negeri, salah satunya di Amerika Serikat dengan terpilihnya Donald Trump Sebagai Presiden pada 2016.

            Ia mengatakan, bahwa gerakan 212 merupakan gerakan yang terinspirasi oleh kelihaian Donald Trump dalam memainkan politik identitas.

            Azra berpendapat, sebagian besar masyarakat Indonesia saat ini tengah memandang negara-negara di Timur Tengah, seperti Arab Saudi sebagai model penerapan Islam dengan sempurna karena banyak orang Indonesia mengalami apa yang disebutnya sebagai inferiority complex.

            Sementara itu, cendekiawan Muslim Alwi Shihab mengatakan sejumlah elite politik dalam gerakan reuni 212 kemarin berusaha menggerakkan masyarakat ekonomi kelas menengah dan bawah untuk menggulingkan pemerintah dengan cara-cara serupa yang digunakan organisasi seperti Hizbut Tahrir di Suriah.

            Salah satu strategi yang digunakan adalah menggaet para pemimpin agama, termasuk para habib, untuk meyakinkan masyarakat bahwa gerakan tersebut berdasarkan pada ajaran dan nilai-nilai Islam.

            Azra juga mengklaim, tak banyak anggota dari 2 ormas besar di Indonesia seperti NU dan Muhammadiyah yang terlibat dalam reuni 212, hal ini menunjukkan bahwa mayoritas simpatisan NU maupun Muhammadiyah menyadari bahwa gerakan 212 merupakan gerakan yang bermuatan politis.

            Sejarah di Indonesia juga mencatat, praktik politik identitas tersebut tidak pernah berhasil. Kegagalan tersebut disebabkan oleh praktik Islam Progresif dan Islam Nusantara oleh para pengikut Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, selain itu juga karena adanya kohesi sosial masyarakat yang sangat kuat.

            PA 212 pun kembali memiliki rencana untuk menggelar reuni 212, dikabarkan pimpinan Front Pembela Islam (FPI) Muhammad Rizieq Shihab yang saat ini berada di luar negeri juga kemungkinan akan mengisi ceramah pada reuni yang ditargetkan akan mendatangkan 7 juta peserta tersebut.

            Jika Habib Rizieq mengisi ceramah baik melalui rekaman video ataupun datang secara langsung, tentu kita bisa membayangkan, apa yang kira-kira akan disampaikan oleh Rizieq di depan simpatisannya, selama ini ceramah yang beredar sangatlah jauh dari nuansa menyejukkan, justru cenderung intoleran terhadap pemerintah dan agama lain. 

            Jika Reuni 212 digunakan untuk memprovokasi atau menyudutkan pemerintah, maka itu artinya mereka sedang melakukan suatu kesia-siaan. Apalagi, Prabowo Subianto yang sebelumnya dekat dengan PA 212 dalam rangkaian Pemilu 2019 belum tentu diundang untuk hadir dalam reuni tersebut.

            Tentu tidak masalah jika Prabowo diundang atau tidak, namun tentu akan kurang etis jika PA 212 menjadikan reuni 212 untuk menyudutkan pihak yang tidak sejalan secara politis dengan mereka.

            Pemerintah memang membutuhkan kritikan sebagai penyeimbang, namun bukan berarti gerakan yang rencananya akan melibatkan jutaan umat muslim tersebut digunakan sebagai alat untuk mengumpat dan mengatakan sumpah serapah terhadap pemerintah, hal tersebut tentu tidak berfaedah sama sekali.

            Pengamat politik dari Kedai Kopi Hendri Satrio, menyatakan momentum PA 212 sudah habis, kedua kubu yang sempat berseteru juga telah memasuki masa rekonsiliasi, bahkan lawan politiknya justru bergabung 1 kabinet dengan Presiden Jokowi. Keduanya pun sudah tidak saling debat di podium, melainkan bekerjasama dan menjalin hubungan baik demi kemajuan Indonesia.

            Selama ini, Reuni yang dijalankan oleh PA 212 masih diselenggarakan karena 2 tujuan : yakni demi eksistensi golongan dan menjaga komunikasi publik.

Sehingga masyarakat tentu harus bisa memilih, mana kegiatan keagamaan yang murni dakwah dan mana acara dakwah yang dibalut dengan nuansa politis demi kepentingan salah satu golongan.

)* Penulis adalah pengamat sosial politik

Show More

Related Articles

Back to top button

Adblock Detected

Kami juga tidak suka iklan, kami hanya menampilkan iklan yang tidak menggangu. Terimakasih