Menyikapi Demonstrasi Buruh Di Era Informasi
Oleh : Mochtar Hidayat )*
Secara umum, buruh menempati posisi yang istimewa dalam struktur masyarakat kita. Jumlah penduduk dalam suatu daerah juga umumnya mayoritasnya berprofesi sebagai buruh. Kehadiran Kehadiran buruh tersebut juga dinilai mampu menggerakkan perekonomian semua pihak karena hampir seluruh lapangan usaha digerakkan oleh buruh.
Salah satu elemen buruh yang di Indonesia adalah Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI). Dalam perkembangannya, KSPI sering terlibat langsung dalam berbagai hal guna menyikapi berbagai isu aktual, diantaranya polemik kenaikan harga beras. Hal tersebut ditegaskan oleh Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal, yang mengatakan aksi buruh akan meningkat mulai 6 Februari 2018 sampai puncaknya pada peringatan May Day, 1 Mei 2018.
Menurut Said Iqbal, seperti dikutip tempo.co, aksi tersebut bertujuan untuk menyuarakan tiga tuntutan buruh dan rakyat (Tritura). Adapun ketiga tuntutan itu adalah pertama, turunkan harga beras dan listrik, menolak impor beras, serta wujudkan kedaulatan pangan. Kedua, para buruh menolak upah murah dan meminta pencabutan Peraturan Pemerintah Nomor 78/2015 tentang Pengupahan. Terakhir, para buruh akan menyatakan dukungan kepada calon pemimpin pada pemilihan kepala daerah dan pemilihan presiden yang pro terhadap buruh dan anti PP 78/2015.
Setiap demonstrasi biasanya akan diawali dengan berkumpul di satu titik yang kemudian dilanjutkan dengan pembacaan tuntutan. Di beberapa kesempatan, aksi juga ditambah dengan tretrikal yang menggambarkan aspirasi mereka. Dampak yang terjadi dari demonstrasi tersebut yaitu mengganggu ketertiban umum. Sudah pasti kepadatan berlalu lintas akan terjadi. Begitupula dengan aksi pada 6 Februari 2018 yang dapat dipastikan akan berimbas pada terganggunya lalu lintas pengguna jalan. Padahal setiap pengguna jalan memiliki kepentingannya masing masing. Oleh sebab itu, dengan adanya demonstrasi maka sudah pasti akan memberikan dampak langsung pada kepentingan masyarakat. Publik tentu masih ingat pemberitaan media massa tentang kisah pilu seorang ibu yang terpaksa melahirkan di jalan sebagai imbas demonstrasi buruh pada bulan desember 2013. Kemacetan yang mengular akibat massa aksi menduduki ruas-ruas jalan dituding sebagai penyebabnya. Belajar dari insiden tersebut, publik seharusnya dapat berkaca tentang manfaat dari demonstrasi. .
Demonstrasi juga rentan untuk ditunggangi kepentingan asing yang ingin menciptakan kekacauan. Logikanya, dengan adanya demonstrasi yang berindikasi anarkhis, para calon investor akan melihat Indonesia sebagai tempat yang sangat riskan untuk berinvestasi, sehingga demonstrasi jenis itu dapat mengurangi minat para investor, terutama investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Berawal yang sepele, hanya demonstrasi bisa mengurangi jumlah investor, alangkah kita tidak sadarnya. Demonstrasi bisa dilakukan akan tetapi juga dipikirkan bagaimana dampak kedepannya. Keinginan untuk maju memang bagus, akan tetapi jika investor melihat suasana seperti ini apakah baik bagi Indonesia. Selain itu membuat masyarakat ketakutan terhadap aksi yang berindikasi anarkis yang dilakukan demonstran, menimbulkan banyak masalah apabila aksi anarkis telah terjadi. Dapat menimbulkan polusi tanah akibat lelehan ban yang telah dibakar, polusi udara akibat suara-suara teriakan, polusi udara akibat asap yang ditimbulkan oleh pembakaran ban.
Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman, pada 29 Januari 2018, juga memastikan harga gabah dan harga beras akan turun seiring dengan masa panen pada Februari sampai Mei 2018. Hal itu terungkap setelah dirinya mendapat laporan dari Pasar Induk Cipinang bahwa beras sudah turun sudah turun Rp 300 per kg dan harga gabah turun Rp 800 per kg. Terkait penurunan harga beras tersebut, Kementerian Pertanian telah berkoordinasi dengan Perum Bulog untuk dapat menyerap beras hasil panen raya yang berlangsung mulai dari Februari sampai Mei 2018.
Ada banyak cara yang dapat dilaksaanakan untuk menyuarakan aspirasi tersebut, salah satunya adalah melalui tulisan di media massa. Upaya tersebut dinilai lebih efektif karena dapat menjangkau massa masyarakat dari berbagai macam latar belakang. Dewasa ini, aksi demonstrasi juga dinilai kurang efektif. Salah satu contohnya adalah aksi massa yang mewarnai Pilgub DKI di akhir 2016 lalu. Ketika terjadi sebuah aksi massa besar, tetapi saat itu Presiden sedang tidak berada di tempat. Sulit untuk menyalahkan Presiden karena tugas kenegaraan umumnya telah terjadwal dan tersusun rapih. Yang terjadi kemudian adalah presiden mendengarkan aspirasi tersebut dari para pembantu-pembatu presiden dan juga dari sumber-sumber lain seperti media massa dan sebagainya. Lalu, jika faktanya demikian apa bedanya jika kita menyampaikan sebuah aksi melalui sebuah tulisan? Toh juga presiden dan para jajarannya juga sama-sama mendengar aspirasi tersebut melalui media massa atau melalui surat langsung yang ditujukan kepada presiden. Maka efektifitas menulis dan menyampaikan kritik melalui sebuah tulisan juga menjadi sarana yang efektif dalam menyampaikan kritik dan aspirasi pada pemerintah. Belajar dari pengalaman tersebut, sudah saatnya kita menilai kembali efektivitas demonstrasi di era informasi.
)* Penulis adalah Mahasiswa STISIP Mbojo, Bima, NTB.