Menyoal Elegansi Dialektika Politik Amien Rais
Oleh: Alan Hakim )*
Nama Amien Rais kembali menjadi perhatian publik karena pernyataannya tentang “partai Allah” dan “partai setan” yang kemudian memantik sejumlah kontroversi di kalangan masyarakat. Pernyataan ini diungkapkannya dalam tausiah setelah sholat subuh di Masjid Baiturrahim, Jakarta.
Untuk lebih jelasnya, berikut kutipan tausiah Amien Rais tersebut: “Orang-orang yang anti-Tuhan, itu otomatis bergabung dalam partai besar, itu partai setan. Ketahuilah partai setan itu mesti dihuni oleh orang-orang yang rugi, rugi dunia rugi akhiratnya… Tapi di tempat lain, orang yang beriman bergabung di sebuah partai besar namanya hizbullah, Partai Allah. Partai yang memenangkan perjuangan dan memetik kejayaan”.
Lebih lanjut Amien menjelaskan; “Sekarang ini kita harus menggerakkan seluruh kekuatan bangsa ini untuk bergabung dan kekuatan dengan sebuah partai. Bukan hanya PAN, PKS, Gerindra, tapi kelompok yang membela agama Allah, yaitu hizbullah. Untuk melawan siapa? untuk melawan hizbusy syaithan,”.
Ada banyak reaksi yang kemudian muncul menanggapi pernyataan Amien Rais tersebut. Beberapa elit politik turut memberikan komentar dan menyayangkan pernyataan Amien Rais karena dapat memberikan ruang untuk terjadinya perpecahan dalam masyarakat.
Tidak berhenti di situ, beberapa elemen masyarakat bahkan melaporkan Amien ke Mapolda Metro Jaya dengan pasal Pasal 28 Ayat (2) Jo Pasal 45A Ayat (2) UU RI No 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU RI No 11 Tahun 2008 tentang ITE dan atau Pasal 156 A KUHP.
Terhadap persoalan pelaporan ini, biarlah mekanisme hukum berjalan sebagaimana mestinya. Dalam tulisan ini, saya lebih tertarik untuk membahas komunikasi politik Amien Rais yang dalam pandangan saya tidak mencerminkan elegansi seorang tokoh nasional yang dikenal sebagai bapak reformasi.
Benar adanya, jika dikatakan bahwa munculnya pernyataan itu dalam rangka memberikan dakwah keagamaan terhadap umat. Akan tetapi, tentu sulit sekali untuk mengatakan bahwa pernyataan Amien Rais tersebut tidak ada kaitannya dengan konfigurasi politik nasional menjelang pemilu 2019.
Terlebih Amien menyebutkan nama beberapa parpol yang dalam pandangannya termasuk dalam kualifikasi “Hizbullah” atau Partai Allah. Sehingga dapat memunculkan pandangan bahwa partai-partai selain itu termasuk “Hizbus Syaithon” atau partai setan. Komunikasi demikian tentu sangat kita sayangkan karena tidak menunjukan sikap elegansi politik dalam meraih simpati masyarakat.
Amien (begitu pula dengan para politisi yang lain) seharusnya mentauladani tokoh-tokoh politikus indonesia di masa lalu, seperti Agus Salim, Buya Hamka, Moh. Natsir, dan lain-lainnya. Mereka selalu tampil sebagai kritikus yang handal tanpa meninggalkan dialektika yang sopan tapi mengenai sasaran.
Agus Salim misalnya, salah satu konseptor pembukaan UUD 1945 ini pernah membalikkan sindiran yang dilontarkan oleh Muso yang notabene adalah lawan politiknya dengan cara yang begitu cerdas dan brilian.
Seperti diketahui, Agus Salim memiliki jenggot yang cukup panjang. Sehingga dalam suatu forum ketika Agus Salim menaiki podium untuk berpidato, Muso mengembik “Mbeeek..” untuk menyindir penampilan Agus Salim yang menurutnya memiliki jenggot seperti kambing. Menyadari sindiran itu ditujukan kepada dirinya, Agus Salim menyahut, “Saya diundang untuk menghadiri forum manusia, tapi kenapa di sebelah sana ada kambing” seraya menunjuk asal munculnya suara mbek tadi.
Begitulah para tokoh kita memberikan tauladan dalam berpolitik. Kritis merupakan keharusan dalam politik tapi bukan menjadi alasan untuk meninggalkan nilai kesopan-santunan. Oleh karena itu sudah seharusnya Amien memberikan tauladan yang baik di tengah polarisasi umat Islam yang terpecah belah menjadi dua. Sebagai tokoh Amien tidak mencerminkan sosok figur reformator sebagaimana dulu disandangnya.
Cara demikian, tentu tidak elok jika dipergunakan untuk mendulang simpati dari rakyat. Sikap demikian tidak memberikan edukasi politik kepada rakyat, melainkan memberikan contoh yang tidak baik. Lebih-lebih dengan menggunakan istilah agama demi mendapat simpati rakyat.
Cukup dengan cara membuktikan bahwa partai yang dibinanya merupakan partai yang berintegritas dan menyuarakan suara rakyat, rakyat akan dengan sendirinya bersimpati dan tertarik untuk memilih partai yang dipimpinnya.
Sudah saatnya Amien menyadari kesalahannya, saya sendiri yakin bahwa Amien menyadari kesalahannya, walaupun ia terpaksa melakukan kesalahan itu demi politik sesaat. Oleh karena itu, sudah seharusnya Amien melakukan taubat nasuha (niat untuk tidak mengulangi kembali). Mari ajari kami yang muda ini cara berpolitik yang elegan bukan politik pragmatis yang menjadi penyakit bangsa ini. dan menghidari diksi-diksi yang berpotensi menjadi pemicu perpecahan umat yang sudah dibagun oleh Founding Fathers kita.
)*Penulis adalah Kord. Advokasi Persatuan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) untuk wilayah Yogyakarta.