Merajut Kebersamaan dan Persaudaraan Tanpa Rasis
Oleh: Muhammad Aidi, SIP, M.Si )*
Indonesia adalah negara kepulauan yang besar dan dikaruniai banyak perbedaan suku, ras, budaya dan agama, namun kebersamaan menjadikan satu kesatuan dalam bingkai NKRI. Kebersamaan dan persaudaraan terbangun damai tanpa rasisme.
Isu rasis adalah narasi yang terlalu dikembangkan untuk memecah persatuan dan kesatuan Bangsa. Terutama digunakan oleh kelompok tertentu dalam menggali jurang kesenjangan antara Orang Papua dan Non Papua. Isu ini sengaja digulirkan untuk mengembangkan Opini bahwa Negara berperilaku Rasis terhadap Orang Papua.
Penggunaan ungkapan nama binatang dan ungkapan jorok, ungkapan kasar dll adalah bahasa umum yang digunakan dalam pergaulan sehari-hari dalam tatanan sosial masyarakat kita di seluruh Indonesia. Bukan hanya ditujukan kepada orang Papua tetapi ke semua orang lawan komunikasi kita.
Ungkapan tersebut terkadang digunakan dalam suasana keakraban, bercanda atau menunjukkan kedekatan. Disisi lain ungkapan tersebut keluar dalam suasana marah, emosi atau menunjukkan sikap tidak senang seseorang kepada lawan komunikasi (tapi bukan berarti Rasis)
Orang Medan sangat familiar dengan kata2 BODAT ( Artinya monyet), Orang Sunda biasanya menyapa orang lain dengan kata Anjing atau Asuh, Orang Sulsel menggunakan kata Tai Laso (kotoran kemaluan pria) orang Indonesia Timur termasuk Papua suka menggunakan kata-kata Cukymay/Pukymay (artinya menyetubuhi atau memperkosa ibu mu).
Jadi menurut Saya ungkapan-ungkapan tersebut jangan terlalu dipolitisir sebagai perilaku Rasis
Mohon maaf, Orang non Papua di Papua justru mengalami perilaku rasis yang lebih besar dan terlihat secara terstruktur bahkan terkesan di legalkan. Bukan hanya dalam ungkapan.
Hanya di Papua ada istilah Orang Asli Papua yang membawa kesan pemisahan antara Org Papua dan non Papua dan menunjukkan bahwa orang Papua adalah warga No. 1 Yang diistimewakan sedangkan orang non Papua adalah warga no. 2 yang dikesampingkan.
Hanya di Papua ada istilah Pendatang dan Pribumi yang menunjukkan kesenjangan bahwa warga pribumi adalah pemilik hak mutlak di Papua sedangkan pendatang terkesan numpang hidup. Padahal realitanya 95% warga yang disebut pendatang di Papua adalah pembayar pajak yang taat dalam rangka pembangunan di Papua (5% yang nakal). Sedangkan belum tentu 50% orang Papua yang disebut pribumi bayar pajak, terutama mereka yang selalu teriak-teriak minta meredeka dan minta referendum.
Sampai saat secara resmi dan diakui oleh internasional bahwa Papua adalah bagian dari kedaulatan NKRI artinya setiap warga negara yang hidup dan mencari kehidupan di Papua seharusnya punya hak dan kewajiban yang sama tanpa harus dibedakan pendatang dan pribumi sebagaimana orang Papua yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia tidak pernah disebut pendatang.
Di Papua dikembangkan Opini bahwa kami bukan Melayu tapi kami Melanesia. Padahal NKRI didirikan tidak berdasarkan atas Suku Agama, Ras dan Antar golongan (SARA). Tapi NKRI didirikan atas dasar Bhineka Tunggal Ika.
Perlakuan istimewa lainnya bahwa hampir seluruh pelajar dan Mahasiswa Papua yang menempuh pendidikan di luar Papua baik dalam negeri maupun luar negeri dibiayai oleh Negara. Sedangkan anak-anak non Papua meskipun lahir besar di Papua tidak mungkin dan mustahil mendapatkan fasilitas tersebut dll. Masih banyak bentuk Rasisme lain yang terjadi di Papua yang tdk dapat Saya sebutkan satu persatu.
Seluruh perilaku Rasis tersebut diterima oleh orang non Papua secara lapang dada tanpa pernah protes.
Melalui tulisan ini Saya ingin menghimbau kepada Saudara-saudara Saya apapun suku agama dan warna kulitmu, mari kita sudahi pertikaian atas dalil Rasis, karena akan terus mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dan harta benda yang tak berkesudahan.
Mari merajut kebersamaan dan persaudaraan tanpa memandang Suku, Agama, Ras dan antar kelompok (SARA). Ingat NKRI ini didirikan bukan atas dasar SARA, tetapi NKRI berdiri atas dasar Bhineka Tunggal Ka (Berbeda-beda tetapi tetap satu jua) itulah Indonesia.
*) Penulis adalah Pemerhati masalah Politik, Sosial dan Budaya tinggal di Jakarta.