Mewaspadai Gerakan Tolak Pemilu 2024
Aktivis Ratna Sarumpaet membuat ‘gerakan tolak Pemilu’. Ajakannya wajib diwaspadai karena bisa berpotensi menggagalkan Pemilu dan meningkatkan golput (golongan putih) di Indonesia.
Pemilu 2024 sebentar lagi dimulai dan masyarakat bersiap-siap untuk mencoblos, karena acaranya diadakan di awal tahun. Rakyat Indonesia menyambut Pemilu dengan gembira karena akan memiliki presiden baru. Pasca reformasi, demokrasi benar-benar ditegakkan dan Pemilu berhasil memilih presiden yang dicintai rakyat, tanpa ada paksaan seperti di masa sebelum reformasi.
Akan tetapi jelang Pemilu ada gerakan tolak Pemilu yang dideklarasikan oleh Ratna Sarumpaet. Menurutnya, Pemilu 2024 wajib ditolak karena dari 3 calon presiden tidak ada yang membuat perubahan untuk Indonesia. Namun Ratna akan mendukung jika ada politisi yang mendukung untuk kembali ke UUD 1945.
Pernyataan keras Ratna Sarumpaet membuat masyarakat gempar karena selama ini mereka tertib dalam mengikuti program-program pemerintah, termasuk Pemilu. Bagaimana bisa program yang penting seperti Pemilu ditolak mentah-mentah. Sungguh aneh ketika masa kampanye belum dimulai tetapi ia melakukan gerakan tolak Pemilu, dan modusnya amat dicurigai.
Oleh karena itu masyarakat patut mewaspadai gerakan tolak Pemilu dan dihimbau untuk tidak termakan propaganda yang dibuat oleh Ratna Sarumpaet. Dengan menyebarkan berita mengenai gerakan ini saja sudah salah, karena sama saja mengaja orang lain untuk ikut menolak pemilu.
Gerakan tolak Pemilu jelas melanggar hukum dan Ratna Sarumpaet wajib dipidana agar menyadari kesalahannya. Ia terkena UU Pemilu nomor 7, Pasal 477 tahun 2017 dan bisa terjerat hukuman 1 tahun penjara dan denda paling banyak 12 juta rupiah.
Sungguh aneh ketika Ratna Sarumpaet yang bukan politisi atau caleg membuat gerakan tolak Pemilu. Sebagai seorang aktivis, ia dikenal selalu menjadi oposisi, sejak masa Orde Baru hingga sekarang. Namun ia menutup mata akan pemerintahan di masa pasca reformasi yang makin baik.
Masyarakat harus mewaspadai gerakan tolak Pemilu karena memiliki banyak dampak negatif. Pertama, dari segi finansial, penolakan dan pemunduran jadwal Pemilu akan membuat dana yang sudah dikeluarkan akan jadi sia-sia. Ketika Pemilu batal maka ratusan juta lembar kertas suara akan terbuang karena program ini tidak jadi diadakan. Saat hal buruk ini terjadi, siapa yang akan menanggung kerugiannya?
Kedua, penolakan Pemilu akan membuat jadwalnya jadi berantakan. Pemerintah dan KPU sudah membuat jadwal Pemilu mulai dari masa kampanye, masa pemilihan, masa tenang, hingga pengumuman presiden. Namun saat ada boikot dan penolakan Pemilu dikhawatirkan akan merusak jadwal, dan lagi-lagi berefek pada keuangan. Penyebabnya karena pergeseran jadwal akan membuat budget penyelenggaraan Pemilu makin membengkak.
Sedangkan yang ketiga, ketika tidak ada Pemilu maka akan mengancam tegaknya demokrasi di Indonesia. Pemilu adalah salah satu program untuk menjaga demokrasi, karena membuat rakyat bisa mengatur negara melalui wakilnya (anggota legislatif). Dengan Pemilu maka masyarakat bisa memilih presiden dan wakilnya sendiri, dan Indonesia akan menjadi negara yang benar-benar demokratis.
Akan tetapi jika tidak ada Pemilu, bagaimana bisa Indonesia memiliki presiden baru. Presiden Jokowi sudah memimpin selama 2 periode dan beliau menuruti UU, di mana seorang presiden hanya boleh dipilih kembali maksimal 1 kali. Pemilihan presiden baru wajib dilakukan untuk regenerasi kepemimpinan dan menegakkan demokrasi.
Seharusnya Ratna Sarumpaet menyadari bahwa Pemilu bukan sekadar memilih calon presiden. Pemilu adalah ajang untuk memilih partai dan caleg, dan para caleg akan menjadi anggota DPR (jika terpilih). Ketika tidak ada Pemilu maka otomatis tidak ada anggota DPR dan MPR.
Saat ia meminta pemerintah kembali ke UUD 1945, maka hal ini tak bisa dilakukan karena tak ada anggota MPR, karena tidak ada pemilihannya (Pemilu). Ia tidak berpikir jauh seperti ini, dan melakukan gerakan tolak Pemilu dengan alasan yang dibuat-buat. Lagipula UUD 1945 sudah sempurna dan tidak usah diganti lagi.
Sementara itu, masyarakat wajib untuk memiliki literasi berinternet yang baik dan tidak ikut-ikutan mengikuti gerakan tolak Pemilu, yang dipopulerkan di media sosial. Jangan sembarangan memilih suatu gerakan karena bisa membahayakan masa depan Indonesia. Jika tidak ada Pemilu dan tidak ada presiden, bagaimana bisa negara ini berkembang?
Masyarakat juga diminta untuk memboikot gerakan tolak Pemilu karena bertentangan dengan demokrasi. Mereka dihimbau untuk tidak menyebarkan berita mengenai gerakan ini, agar tidak makin meluas dan membingungkan rakyat yang masih awam.
Seluruh rakyat Indonesia diminta untuk mewaspadai gerakan tolak Pemilu yang digaungkan oleh Ratna Sarumpaet. Jangan ikut-ikutan menyebarkannya karena provokasi ini berbahaya dan bisa merusak demokrasi di Indonesia. Seharusnya gerakan ini dihentikan agar tidak ada kekacauan di masyarakat.