Mewaspadai Hoax UU Cipta Kerja
Oleh : Zakaria )*
Pemerintah telah menunjukkan keterbukaannya dalam hal mendiskusikan UU Cipta Kerja. Namun, disinformasi dan kontroversi yang sudah terlanjur ramai tersebar rupanya melahirkan keresahan tersendiri. Masyarakat pun diimbau untuk mewaspadai hoax seputar UU Cipta Kerja yang dapat mendistorsi informasi dan memicu keresahan.
Mahfud MD selaku Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), menyayangkan terkait ramainya kabar palsu atau hoax di media sosial seputar UU Omnibus Law Cipta Kerja.
Ia menegaskan bahwa pemerintah tidak menolak akan adanya diskusi-diskusi untuk menjelaskan masalah mengenai undang-undang Cipta Kerja tersebut. Tetapi datanya harus akurat, tidak berangkat dari hoax.
Mahfud pun berharap, lembaga penyiaran dapat membantu pemerintah dalam upaya menjernihkan informasi seputar UU Cipta Kerja kepada masyarkat. Hal tersebut bisa dilakukan melalui penyebaran siaran iklan layanan masyarakat.
Sementara itu, Pengamat Ketenagakerjaan dari Universitas Gajah Mada (UGM) Profesor Tajuddin Noer Effendi mengatakan kurangnya komunikasi ini menjadi salah satu kekurangan Pemerintah dalam menyusun Omnibus Law. Hal ini membuat banyak pihak yang menolak undang-undang ini meski tidak mengetahui isinya.
Dalam pembahasan UU Cipta Kerja ini, Tajuddin mengatakan bahwa sebenarnya pemerintah juga mengajak universitas dan serikat pekerja. Namun sayangnya dalam beberapa pembahasan hanya sedikit yang hadir.
Dirinya menegaskan, apabila masyarakat serius dala membaca UU ini, sebenarnya isi dari undang-undang tersebut bertujuan untuk menolong pekerja yang belum mendapatkan pekerjaan. Dengan menarik investasi, maka dapat menciptakan lapangan kerja dan menekan angka pengangguran.
Namun, sejak Omnibus Law disahkan oleh DPR, berbagai kabar palsu atau hoax berkembang di masyarakat. Hoax yang tersebar tersebut antara lain menyangkut permasalahan status pekerja, pengupahan hingga regulasi tentang tenaga kerja asing.
Untuk masalah pesangon misalnya, dalam pasal 156 BAB IV tentang Ketenagakerjaan disebutkan pengaturan tentang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak yang nantinya akan diatur dalam peraturan pemerintah.
Untuk pesangon, apabila pengusaha melakukan PHK maka pengusaha wajib membayar pesangon. Secara spesifik untuk uang pesangon untuk masa kerja kurang dari satu tahun adalah satu bulan upah, hingga untuk masa kerja 8 tahun atau lebih mendapatkan 9 bulan upah.
Sementara uang penghargaan masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 tahun, maka akan mendapatkan 2 bulan upah. Kemudian jika masa kerja 24 tahun atau lebih, maka akan mendapatkan 10 bulan upah.
Sempat pula beredar bahwa setelah UU Cipta Kerja disahkan, maka para buruh akan mendapatkan upah yang dihitung per jam.
Merujuk pada pasal 88B Bab IV tentang ketenagakerjaa disebutkan bahwa upah ditetapkan berdasarkan satuan waktu, dan/atau satuan hasil. Ketentuan lebih lanjut akan diatur dalam PP. Dengan satuan waktu tidak ada aturan yang menyatakan upah berdasarkan jam.
Hoax yang tidak kalah meresahkan adalah hoax terkait dengan tidak adanya status karyawan tetap. Padahal status karyawan tetap akan tetap ada berdasarkan pasal 59, perjanjian kerja untuk waktu tertentu (PKWT) atau biasanya dikenal dengan pekerja kontrak hanya dapat dibuat untuk pekerjaan yang akan selesai dalam waktu tertentu. PKWT tidak dapat dilakukan untuk pekerjaan yang bersifat tetap. Jika PKWT tidak memenuhi ketentuan, maka menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) atau karyawan tetap.
Selain itu salah satu disinformasi yang patut diwaspadai adalah hilangnya semua hak cuti. Namun pada kenyataannya hak cuti dan waktu istirahat tetap ada, dalam pasal 79. Cuti tahunan diberikan paling sedikit 12 hari bagi pekerja yang telah bekerja selama 12 bulan, serta diatur dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan. Perusahaan juga dapat memberikan istirahat panjang.
Kabar hoax yang beredar adalah tenaga kerja asing yang bebas masuk ke Indonesia. Tentu saja menyikapi berita tersebut kita patut merujuk pada pasal 42 yang tertulis, bahwa setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing haruslah memiliki rencana penggunaan tenaga kerja asing (TKA) yang disahkan pemerintah pusat. Penggunaan TKA juga ditentukan dalam jangka waktu tertentu, dan dilarang menduduki jabatan yang mengurus personalia.
Tentu saja kita harus mampu membaca substansi UU Cipta Kerja secara komprehensif, sehingga tidak mudah terprovokasi oleh penggiringan opini yang ternyata berdasar pada berita yang tidak benar.
)* Penulis adalah warganet tinggal di Bogor