Mewaspadai Manuver Eks HTI
Oleh : Deka Prawira )*
Mungkin akan ada yang bertanya, mengapa HTI dicabut status hukumnya oleh pemerintah. Tentu saja pembubaran ormas tersebut bukan tanpa alasan, karena HTI dianggap bertentangan dengan Ideologi negara, Pancasila. Sehingga meski organisasinya dibubarkan, tentu saja residu-residu ideologinya masih dibawa oleh sebagian eks HTI yang bermanuver.
Kala itu, HTI sebagai ormas berbadan hukum tidak melaksanakan peran positif untuk mengambil bagian dalam proses pembangunan untuk mencapai tujuan nasional. Kegiatan HTI terindikasi kuat bertentangan dengan tujuan, asas dan ciri berdasarkan ideologi negara.
Dilihat dari asal usulnya, Hizbut Tahrir merupakan organisasi politik yang berideologi Islam berskala internasional. Hizbut Tahrir lahir pada tahun 1953 di Al-Quds, Palestina. Dalam situs hizbut tahrir menitikberatkan pada perjuangan membangkitkan umat di seluruh dunia untuk mengembalikan kehidupan Islam melalui tegaknya kembali khilafah Islamiyah.
Gerakan ini dipelopori oleh Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani, seorang ulama alumni Al-Azhar Mesir dan pernah menjadi hakim di Mahkamah Syariah di Palestina.
Secara keseluruhan, kegiatan HTI adalah kegiatan yang bersifat politik dengan cara mengemukakan konsep-konsep Islam beserta hukum-hukumnya untuk diwujudkan dalam pemerintahan.
HTI dianggap berbahaya karena membuat seorang muslim mengalami “lompatan ideologi” dimana yang tadinya seseorang hanya mengenal Islam sebatas ritual ibadah, berubah menjadi tercerahkan bahwa Islam adalah ideologi yang mampu menawarkan solusi jitu dibanding komunis dan kapitalis.
Selama HTI masih eksis, mereka juga membuat organisasi sayap dakwah yang digunakan untuk merekrut dan menyebarkan pemahaman keagamaan versi mereka ke masyarakat luas. Tidak hanya itu, organisasi ini semakin hari semakin terlihat orientasinya tidak hanya fokus pada ajaran keagamaan, tetapi orientasi politik yang mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dulu HTI juga menyebarkan dakwahnya ke kampus-kampus, mereka juga membangun pemikiran untuk membendung pemikiran liberal dan anti terhadap demokrasi. Sehingga apa yang mereka hembuskan adalah ideologi khilafah yang tidak pas diterapkan di Indonesia.
Kita semua tahu, bahwa sejak awal terbentuknya Indonesia, tidak pernah memiliki rumusan menggunakan sistem Negara Islam. Karena Indonesia tidak hanya didirikan oleh para kiai atau ulama Islam saja. Tetapi berdirinya Indonesia adalah kesempatan konsensus dari berbagai golongan untuk mendapatkan kemerdekaan atas penjajahan waktu itu. Dengan masyarakat multikultur tidak mungkin Indonesia menggunakan sistem pemerintahan terpusat (satu pemimpin saja), karena hal tersebut tidak sesuai dengan sistem demokrasi yang dianut di Indonesia. Konsep khilafah justru akan menimbulkan konflik dan kerusakan yang sangat besar di berbagai wilayah.
Meski telah dibubarkan, rupanya gerakan dari eks HTI masih ada di Indonesia. Seruan-seruan untuk menegakkan khilafah, bendera-bendera yang menjadi simbol gerakan mereka terkadang masih terlihat dan tersebar. Misalnya saja ketika momen Pemilu 2019. Banyak unjuk rasa di sana-sini mereka ikut berperan di dalamnya. Hal tersebut wajar, karena satu sisi mereka memanfaatkan kesempatan pihak oposisi sebagai ladang untuk terus melakukan perlawanan kepada pemerintah.
Lain hal itu, eks HTI juga masih melakukan penyebaran ideologi khilafah melalui dakwah dengan berkedok agama dengan sasaran mahasiswa dan pelajar. Tentu bisa dibayangkan jika anak muda yang menganggap demokrasi adalah sesat, maka selanjutnya mereka tidak akan menyanyikan lagu Indonesia Raya saat mengikuti Upacara.
Meski saat ini tidak lagi menggunakan nama HTI, paham khilafah yang diusungnya masih sering menjadi trending di media sosial seperti twitter dan facebook. Bahkan, sejak pandemi Covid-19 melanda berbagai negara termasuk Indonesia yang berdampak pada berbagai sektor kehidupan diantaranya kegiatan dilakukan secara daring, kelompok eks HTI justru terindikasi mengoptimalkan dakwahnya melalui media streaming seperti aplikasi zoom atau live streaming Instagram dan Facebook.
Meski organisasinya dibubarkan, bukan berarti perjuangan dakwah para mantan pengurus, aktivis dan anggota HTI terhenti. Kampanye yang bertujuan untuk membumikan khilafah merupakan misi keagamaan yang mereka emban, bahkan mereka juga siap jika sewaktu-waktu ditangkap oleh aparat karena dakwahnya.
Tentu saja tidak semua dakwah berbahaya, tetapi jika dakwah tersebut dibarengi dengan narasi-narasi yang provokatif, maka akan sangat mungkin sekali dakwah yang mereka sebarkan bukanlah tentang kedamaian, tetapi tentang ancaman kehancuran negara gegara tidak menerapkan paham khilafah.
)* Penulis adalah kontributor Lingkar Pers dan Mahasiswa Cikini