Mewaspadai Paham Radikal di Lingkungan Sekitar
Oleh : Aiman Sudrajat*
Kita tentu sudah mengetahui bahwa pendirian tempat ibadah seperti masjid adalah untuk tempat umat muslim menunaikan kewajiban sholat serta melakukan berbagai kegiatan ibadah lainnya, untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta secara spiritual. Masjid diserap dari kata yasjudu yang artinya bersujud dan menyembah. Namun, beberapa waktu yang lalu, tempat ibadah tersebut sempat digunakan oleh kelompok tertentu untuk menyebarkan paham radikal yang sama sekali bertentangan dengan Pancasila.
Penyebaran paham radikal di masjid ini juga diperjelas dengan penelitian yang dilakukan oleh Alissa Wahid, dimana pada Juni 2018, ia menyebutkan bahwa terdapat 40 masjid di Jakarta yang terpapar paham radikalisme. Meski survei tersebut merahasiakan nama masjid yang diteliti, beberapa lembaga pemerintahan mengklaim memiliki datanya. Suhardi Alius selaku Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyebutkan pihaknya telah menemukan bahwa radikalisme di masjid telah tercium sejak tahun 2012 silam.
Hal serupa juga didapatkan oleh Tim Leader Pembangunan Komunitas untuk Perdamaian Wahid Foundation. Pihaknya mendapatkan fakta lapangan sebab mereka telah fokus meneliti mengenai kebebasan beragama di Indonesia semenjak tahun 2008. Salah satu variabel yang digunakan untuk menyatakan suatu masjid telah terpapar paham radikal, diantaranya adalah medium dakwah, masjid digunakan oleh kelompok berpaham radikal untuk melakukan provokasi, propagandan hingga puncaknya melakukan perekrutan anggota.
Melihat kasus ini, tentu pimpinan masjid atau takmir masjid memiliki peran sangat vital. Karena ia memiliki wewenang untuk menerima da’i dan materi dakwah yang disampaikan pada jamaah masjidnya.
Masjid yang telah terpapar oleh radikalisme harus segera dibersihkan, sebab hal tersebut merupakan sesuatu yang membahayakan keutuhan bangsa dan kelangsungan NKRI. Sehingga hal yang terpenting saat ini adalah menjaga tempat ibadah seperti masjid dari upaya segelintir kelompok yang berusaha mengubah dasar negara, termasuk paham – paham radikalisme.
Masyarakat perlu meningkatkan kewaspadaan lantaran penyebaran paham radikalisme sudah memanfaatkan teknologi seperti media sosial. Polri, BNPT, TNI dan segenap tokoh agama tentu perlu meningkatkan sinegitas untuk melakukan upaya deradikalisasi demi mencegah penyebaran ajaran radikal di masyarakat.
Badan Intelijen Negara (BIN) juga telah memberikan rincian bahwa terdapat 11 masjid di kementerian, 11 masjid lembaga, dan 21 masjid BUMN yang terpapar paham radikalisme. Bahkan salah satu diantaranya masuk dalam kategori parah.
Halili selaku Direktur dari Setara Institute, mengungkapkan bahwa paham radikal di Indonesia terjadi sebagai akibat dari warisan pada pergantian rezim di masa reformasi. Pasca reformasi terdapat ketidakjelasan batas kebebasan dengan proteksi arena – arena publik dari infiltrasi ideologi, sehingga kelompok yang memiliki paham radikal merasa lebih leluasa memanfaatkan kebebasan menggunakan masjid, sekolah, tempat pendidikan, hingga perguruan tinggi sebagai tempat untuk menyebarluaskan doktrinnya. Euforia reformasi inilah yang kemudian menjadi jalan masuk model pembelajaran jenis keagamaan baru yang datangnya dari luar negeri.
Salah satu contohnya adalah doktrin Takfiri. Doktrin ini bisa menyebut orang lain yang tidak sepaham sebagai orang kafir. Sifat dari penganut doktrin ini adalah kecenderungan untuk ekslusif, sehingga para penganutnya bisa disebut alergi pada identitas agama yang berbeda dengan mereka. Hal inilah yang kemudian menumbuhkan benih intoleransi dan menjadi pemicu radikalisme hingga terorisme. Ironisnya, Setara Institute mengamati bahwa masjid menjadi instrumen untuk memberi pelajaran keagamaan baru.
Halili juga menilai bahwa kondisi di lapangan ternyata lebih mengerikan, karena ada penguatan penguasaan kelompok radikal di lembaga pendidikan hingga masjid sejak 10 tahun terakhir. Halili juga menambahkan bahwa pihaknya mencatat adanya peningkatan radikalisme di pertengahan tahun 2018.
Riset dari Setara Institute juga menemukan fakta bahwa masjid sering menjadi media untuk penyampaian syiar kebencian pada kelompok yang tidak sepaham, takfiri, hingga seruan untuk memerangi kaum kafir. Inilah yang disebut oleh Setara Institute sebagai bibit radikalisme.
Dalam riset tersebut juga menyebutkan bahwa jumlah kaum radikal tidaklah banyak, namun simpatisan merekalah yang jumlahnya tidak sedikit. Salah satu faktornya adalah penggunaan internet khususnya media sosial yang sangat cepat dalam menyebarkan informasi.
Indikator yang digunakan untuk mengetahui suatu masjid terpapar radikalisme adalah siapa yang memberi ceramah, materi ceramah, serta jaringan masjidnya. Selain di masjid lingkungan pemerintahan atau kementerian, masjid di lingkungan kampus juga termasuk sebagai tempat yang rawan akan paparan paham radikalisme. Sebab ketidakberadaan pengurus masjid membuat pemilihan pembicara cenderung mengikuti trend ustaz.
Masyarakat tentu harus sadar bahwa founding father bangsa Indonesia tidaklah main – main untuk menyatukan berbagai suku bangsa, agama dan bahasa menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia, sehingga sungguh sebuah kedunguan jika paham radikal dijadikan alat untuk menjauhkan masyarakat dari nilai – nilai Pancasila dengan iming – iming bagian dari jihad.
Tindakan mereka telah menodai ideologi Pancasila yang telah dirumuskan oleh founding father NKRI. Tidakkah kita melihat bahwa merekalah yang dapat membuat persatuan Indonesia terpecah belah. Pihak Dewan Masjid Indonesia juga meminta agar para Khatib tidak lagi menyampaikan pesan – pesan radikal serta kebencian di dalam ceramahnya. Karena ujaran kebencian merupakan bibit pertama dari gerakan ataupun tindakan radikalisme.
Upaya menangani radikalisme tentu tidak bisa dilakukan sendiri oleh pemerintah. Masyarakat tentu harus turut ambil peran untuk menghindari paham radikalisme di tempat ibadah. Apalagi jika ada kelompok yang mengajak untuk bersikap intoleran terhadap kelompok yang berbeda keyakinan.
*Penulis adalah Pengamat Masalah Terorisme