Mewaspadai Penggalangan Dana Kelompok Radikal
Oleh : Zainudin Zidan )*
Pengungkapan jaringan teror yang memanfaatkan kotak amal untuk menggalang dana membuktikan bahwa kelompok radikal terus bermanuver di sekitar kita. Masyarakat pun diminta mewaspadai aksi tersebut karena telah mencemari aksi solidaritas dan kepedulian rakyat dalam membantu sesama.
Menurut hasil salah satu lembaga survey, penduduk Indonesia diklaim sebagai orang yang paling dermawan, terutama ketika pandemi melanda. Saat awal Corona masuk ke negeri ini, ada berbagai sumbangan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga nirlaba maupun perorangan. Kita patut bangga karena dikenal sebagai bangsa yang murah hati.
Akan tetapi, sifat dermawan ternyata diikuti oleh resiko pemanfaatan oleh para oknum. Seperti kelompok radikal dan teroris yang membuat lembaga amal dan mengiklankannya di media sosial, untuk menarik minat masyarakat. Mereka jadi trenyuh dan berdonasi, padahal uangnya tidak dipakai untuk anak yatim piatu, melainkan disalurkan untuk menyokong kegiatan radikalisme dan terorisme.
Detasemen 88 Antiteror sudah menangkap tersangka teroris berinisial S di Lampung, dari JI, dan ia diduga terkait dengan kasus penggalangan dana kelompok radikal. S pernah menjabat di sebuah yayasan amal dan sering membuat pengumuman donasi.
Kabag Bantuan Operasi Densus 88 Kombes Aswin Siregar menyatakan bahwa kantor lembaga amal tersebut sudah ditutup ketika ada penyelidikan, begitu juga kantor-kantor cabangnya di berbagai daerah. Rekening-rekeningnya telah disita dan asetnya telah diamankan, sehingga anggota mereka tidak bisa mengutak-atiknya.
Penemuan tentang modus baru kelompok radikal ini sangat mengejutkan, karena mereka tega membohongi masyarakat, demi keinginannya yang menyesatkan. Bagaimana bisa para teroris bermodus meminta sumbangan demi fakir-miskin dan anak yatim piatu, padahal digunakan untuk modal pengeboman dan aktivitas lain? Padahal mereka tahu bahwa berbohong adalah dosa besar tetapi nekat melakukannya.
Jika uang yang terkumpul dari lembaga bermodus digunakan untuk kegiatan kelompok radikal, maka jelas haram, karena faktor kebohongannya. Aneh sekali ketika mereka yang mengaku taat dalam memeluk keyakinan tetapi malah melakukan dosa besar, gara-gara ambisi untuk membuat negara khilafah.
Uang yang digunakan untuk membiayai kelompok teroris memang banyak. Untuk membuat bom sederhana saja butuh 850.000 rupiah. Sedangkan untuk rencana pengeboman besar, seperti yang terjadi tahun 2002 lalu di Pulau Dewata, butuh biaya 100 juta rupiah. Tak heran mata mereka ditutupi oleh dosa lalu nekat berbohong demi mengongkosi radikalisme dan terorisme.
Masyarakat tentu kaget karena merasa dibohongi dan dimanfaatkan oleh anggota kelompok radikal. Awalnya mereka ingin menambah pahala, ternyata malah dikibuli, lalu merasa sakit hati. Oleh sebab itu kita dihimbau untuk lebih hati-hati ketika melakukan donasi, terutama jika berderma di internet.
Ketika ada yang meminta sumbangan di media sosial maka jangan asal transfer, tetapi selidiki keabsahan lembaganya. Lihatlah apakah mereka memiliki izin dari Dinas Sosial, karena itu menunjukkan keresmiannya. Selain itu, periksa apakah lembaga itu punya kantor yang asli, bukan hanya via online yang bisa saja memakai alamat dan nomor telepon palsu.
Akan lebih baik lagi jika kita menyumbang secara langsung, baik ke kotak amal di rumah ibadah, rumah yatim piatu, atau lembaga donasi yang valid. Berderma secara online memang praktis karena tinggal transfer dan konfirmasi, tetapi jangan sampai kemurah-hatian ini malah dimanfaatkan oleh kelompok radikal.
Kelompok radikal ketahuan membuat yayasan fiktif untuk menggalang dana masyarakat, akan tetapi mereka malah menggunakan uangnya untuk aktivitas terorisme dan radikalisme. Kita patut waspada dan jangan asal berdonasi. Telitilah sebelum men transfer uang dan periksalah apakah lembaga amal tersebut valid atau tidak.
)* Penulis adalah kontributor Lingkar Pers dan Mahasiswa Cikini