Mewaspadai Penyebaran Paham Radikal Saat Pandemi Covid-19
Oleh : Zulkarnain )*
Peristiwa penyerangan terhadap polisi di Poso Sulawesi Tengah pada Rabu (15/4) menjadi bukti bahwa paham radikal dan teror masih terus bergerak meskipun dalam masa pandemi Covid-19. Pemerintah dan masyarakat pun tidak boleh lengah dan terus bersinergi guna membendung ideologi terlarang tersebut.
Aksi teror akibat paham radikal kembali terjadi di Poso, dimana anggota kepolisian yang bertugas menjaga keamanan di Bank Syariah Mandiri kantor cabang Poso, Provinsi Sulawesi Tengah, mendapatkan serangan dari sekelompok sipil bersenjata. Satu diantaranya dikabarkan terluka terkena tembakan.
Kabid Humas Polda Sulteng Kombes Didik Supranoto mengatakan, ada anggotanya yang terluka terkena tembakan dan bacok. Peristiwa tersebut terjadi di Jalan Pulau Irian Jaya, Gebang Rejo Kabupaten Poso.
Kedua pelaku tersebut datang dengan menaiki sepeda motor secara berboncengan, kemudian langsung menyerang petugas polisi. Kedua Polisi tersebut mendapatkan serangan pada pukul 09.15 WITA.
Kedua pelaku tersebut diduga merupakan anggota dari kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT). Meski kedua pelaku tersebut berhasil meloloskan diri, namun polisi telah berhasil mengamankan senjata pelaku. Kedua pelaku tersebut yakni Muis Fahron alias Abdullah dan Ali alias Darwin Gobel
Sekitar jam 13.00 WITA, kedua pelaku tersebut sudah berhasil ditangkap dan keduanya tewas, namun pihak kepolisian belum merinci penyebab tewasnya kedua pelaku.
Didik mengatakan, kedua pelaku tersebut merupakan anggota kelompok teroris MIT yang dipimpin oleh Ali Kalora.
Pihaknya mengatakan, Polisi akan terus mengejar anggota kelompok tersebut. Namun ia mengaku belum memiliki data tentang berapa anggota kelompok MIT yang tersisa.
Perlu diketahui, bahwa kelompok MIT merupakan kelompok yang merupakan pendukung inti ISIS, termasuk kelompok radikal seperti JAT, MIB dan Al Mujahirun yang merupakan fraksi radikal dari Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Kelompok MIT yang berada di Kawasan hutan Gunung Tamanjeka, Poso, merupakan generasi dari jaringan kelompok lama dari sel Abu Umar dan Noordin M Top.
Menurut Pemerhati terorisme, Fajar Purwadidada, masalah terorisme merupakan sentral dari gerakan jaringan kelompok teroris di Indonesia. Hampir semua gerakan yang diduga teroris saat ini merupakan jaringan pendukung MIT.
Beragam aksi terorisme yang terjadi di sejumlah negara tak terkecuali Indonesia, didasari atas suburnya pemikiran radikal dalam diri individu. Dimana pemikiran ini adalah hasil dari berbagai hal, mulai dari kajian radikal, atau konten yang mengarah pada sikap anti demokrasi di Indonesia.
Pada kesempatan berbeda, Mantan Narapidana Terorisme berinisial RL mengatakan, bahwa saat ini ia berusaha untuk tidak ikut-ikutan dalam kegiatan radikalisme bahkan ke arah terorisme. Ia juga akan membantu pihak aparat keamanan untuk menjaga situasi kamtibmas di Poso.
Menurut RL, saat ini sebagian besar eks napiter sangat mendukung kebijakan pemerintah untuk membantu menciptakan situasi kamtibmas yang aman dan damai di wilayah Poso dan Sulawesi Tengah.
Tak hanya itu, RL juga senantiasa mengajak kepada teman-teman simpatisan lainnya untuk tidak lagi bergabung dan melakukan kegiatan yang mengarah pada aksi terorisme yang dapat mengganggu situasi kamtibmas, hal ini dikarenakan dapat merugikan diri sendiri dan orang lain.
Dirinya juga menegaskan, bahwa pemahaman maupun ideologi keras ke arah radikalisme dapat menjadi dasar seseorang untuk melakukan aksi terorisme.
Bagi para radikalis, kritik atas persoalan perbedaan ideologi merupakan jihad keagamaan yang kerap kali didewakan tanpa adanya jihad kemanusiaan. Mereka yang berpaham radikal akan menganggap bahwa melakukan kerusakan atau melukai orang yang tidak sepaham adalah sebuah jihad, meskipun hal itu menimbulkan korban jiwa.
Tentunya, Deradikalisasi menjadi langkah awal dari tindakan de-ideologisasi paham radikal di Indonesia. Pemerintah harus mengarahkan narapidana mantan napi terorisme (napiter) untuk menyebarkan dan meluruskan pemahaman agama yang sesuai ajaran Islam, bahwa islam adalah agama yang rahmatan lil ‘alamin.
Tentu saja untuk menanggulangi radikalisme, pemerintah memerlukan upaya yang sistematis, terstruktur dan masif dalam menghadapi radikalisme. Tidak bisa jika hanya melakukan kegiatan-kegiatan yang sporadis.
Poso merupakan salah satu Kabupaten yang memiliki desa toleran terhadap perbedaan, upaya deradikalisasi tentu saja harus diiringi dengan semangat toleransi, karena berbeda bukan berarti memusuhi atau menyakiti.
)* Penulis adalah Mahasiswa IAIN Kendari