Mewaspadai Penyebaran Radikalisme di Kalangan Anak-Anak
Oleh : Abdul Ghofur )*
Radikalisme masih menjadi ancaman utama bangsa Indonesia. Masyarakat pun diminta untuk mewaspadai penyebaran paham radikal kepada kalangan generasi muda, tidak terkecuali anak-anak.
Pernahkah Anda mendengar tentang radikalisme dan terorisme? Kelompok radikal mulai masuk ke Indonesia tahun 1997-1998 dan memanfaatkan orde reformasi yang penuh kebebasan, setelah sebelumnya dikungkung oleh aturan-aturan orde baru. Mereka menyelusup dan makin melebarkan sayapnya serta bergerilya sembari mencari kader-kader baru untuk regenerasi.
Kelompok radikal mencari siapa saja untuk jadi anggotanya, mulai dari manula hingga kaum muda. Sedihnya, belakangan muncul pemberitaan tentang radikalisme di kalangan anak-anak. Sebanyak 15 anak di Makassar sudah terpapar radikalisme. Kabar ini mengejutkan karena kelompok radikal sudah bertindak keji karena dengan sengaja meracuni pikiran bocah-bocah yang masih polos.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Achi Soleman menyatakan bahwa mayoritas anak terpapar radikalisme dari orangtuanya. Mereka sudah ditanamkan paham radikal dalam kehidupan. Saat ini 15 anak tersebut berada di bawah perlindungan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Achi Soleman menambahkan, ia bekerja sama dengan banyak pihak. Pertama dengan Densus 88 antiteror yang memang kerjanya memberantas terorisme dan radikalisme. Kedua dengan Dinas Pendidikan dan Dinas Kesehatan. Tugasnya untuk interverensi pendidikan dan layanan kesehatan. Anak-anak itu akan dikembalikan ke sekolah umum dan orangtuanya diedukasi.
Penemuan radikalisme di kalangan anak tentu sangat membuat masyarakat shock. Mereka berpikir, bagaimana bisa para bocah malah sengaja dicekoki ajaran-ajaran radikalisme yang bertentangan dengan Pancasila? Jika anak-anak kecil sudah mengenal radikalisme maka runtuhlah masa depannya, karena yang dipikir hanya jihad, kebencian, dan intoleransi.
Alih-alih bercita-cita jadi dokter, insinyur, atau guru, anak-anak malah bercita-cita untuk jihad ke Suriah atau malah jadi bom pengantin. Jika ini terjadi maka sungguh mengerikan, karena masa depan mereka akan kacau-balau. Seharusnya para bocah didorong agar sukses dan menjadi ‘orang’, bukannya jadi kader radikal yang menyakiti masyarakat sipil.
Ketika banyak anak yang terpapar radikalisme maka harus segera didetokfikasi dan didampingi oleh psikolog. Penyebabnya karena jika tidak segera diatasi maka mereka akan jadi pribadi yang intoleran dan selalu mengunggah isu SARA, bahkan berani mengkafir-kafirkan orang lain. Akan rusaklah bangsa ini ketika bibit generasi muda bertindak melenceng.
Orang tua dari anak tersebut wajib dicokok oleh Densus 88 antiteror jika memang terbukti menularkan paham radikal. Mereka harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di penjara karena merusak masa depan anaknya sendiri sekaligus membuat calon pemimpin bangsa jadi teracuni oleh radikalisme. Penangkapan harus dilakukan secepat mungkin, karena jika tidak dalam 20 tahun ke depan kita akan punya generasi radikal.
Ketika orang tuanya ditangkap maka anak-anak bisa dilindungi oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan statusnya menjadi anak negara. Dengan status ini maka mereka mendapatkan proteksi dan tunjangan untuk hidup, serta bersekolah dan hidup layak tanpa pengaruh buruk dari orang tua yang radikal.
Radikalisme pada kalangan anak wajib diberantas dari hulu ke hilir alias yang disembuhkan tidak hanya anaknya tetapi juga orangtuanya. Dalam 1 rumah harus sama-sama didetoks dari paham radikal agar mereka sadar bahwa itu berbahaya dan bisa merusak masa depan anak.
Masyarakat wajib mewaspadai penyebaran radikalisme di kalangan anak karena jangan sampai banyak yang jadi korban. Anak-anak yang polos harus diselamatkan dari paham radikal dan didetoks agar tidak teracuni oleh radikalisme. Orang tuanya juga harus ditangani dan disadarkan bahwa tindakannya salah.
)* Penulis adalah kontributor Nusa Bangsa Institute