Mewaspadai Penyebaran Radikalisme di Kalangan ASN
Oleh : Muhammad Yasin )*
Pemerintah terus mewaspadai penyebaran radikalisme di kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang merupakan ujung tombak penyelenggaraan pelayanan publik. Oleh karena itu, pembinaan terhadap ASN perlu dilaksanakan secara berkala dan rekrutmen perlu diperketat.
ASN adalah pekerjaan yang diidam-idamkan banyak orang, karena gaji yang terjamin dan memiliki uang pensiun. Tak heran tes CPNS selalu dijubeli oleh peminat, karena mereka ingin jadi abdi negara dan bekerja dengan teratur. Padahal seleksinya cukup ketat, tak hanya tes matematika tetapi ada juga ujian lainnya.
BPNPT memiliki permintaan khusus pada lembaga atau kementrian yang melakukan ujian CPNS, yakni jangan sampai yang tersaring ternyata anggota atau pro radikalisme. Brigjen Akhmad Nurwakhid, Direktur Pencegahan BNPT RI menyatakan bahwa pencegahan juga dilakukan untuk seleksi jabatan di lembaga atau kementrian tersebut.
Permintaan ini dilayangkan karena imbas dari penangkapan anggota kelompok radikal di Lampung. Ternyata ia seorang guru SD dan berstatus ASN. Tentu hal ini mengejutkan dan rasanya jadi kecolongan, karena bagaimana bisa seorang pegawai negeri menjadi anggota kelompok radikal, yang merupakan penghianat negara?
Rekrutmen CPNS selama ini memang baru fokus ke ujian kecerdasan, matematis, dan wawasan. Sedangkan untuk saringan lain baru dalam tahap fisik dan psikis. Akan tetapi untuk filter bahwa seorang CPNS adalah anggota kelompok radikal atau bukan, masih belum dilakukan.
Jangan sampai kesalahan berulang sehingga ada ASN yang ternyata pro radikalisme, karena ia bisa saja memanfaatkan jabatannya untuk tujuan buruk. Misalnya jika ia adalah guru, maka bisa mengajarkan tentang radikalisme ke para murid dan meracuni pikiran mereka. Atau ketika ia jadi pejabat di lembaga negara, maka menggunakan uangnya untuk menyumbang kegiatan radikalisme dan terorisme.
Oleh karena itu seleksi CPNS memang harus diperketat. Saringannya tidak hanya dilakukan saat ada ujian di gedung, tetapi juga ada penyelidikan yang teliti kepada semua peserta tes CPNS. Tujuannya untuk mengetahui apakah ia tersangkut kelompok radikal atau tidak.
Cara untuk menyelidiki tidak usah dengan mengirim petugas dan menggeledah rumahnya. Akan tetapi bisa dengan memanfaatkan teknologi. Lihat saja jejak digitalnya, yang bisa dengan mudah ditelusuri di Google. Jika ia ketahuan sering mem-posting tentang jihad, radikalisme, dan terorisme, bisa dipastikan bahwa ia adalah anggota kelompok radikal.
Selain itu, peserta tes CPNS juga bisa dilihat statusnya di FB atau tweet di Twitter. Jika ia terlalu sering mengoceh dengan nada sarkas, menghujat pemerintah, dan mengkritik tanpa ampun, jangan diterima. Bagaimana bisa seorang ASN malah menghina pemerintah yang menggajinya? Sama saja dengan meludahi sumur sendiri.
Cara lain adalah dengan melihat akun media sosialnya. Ketika seorang peserta tes CPNS menyukai atau mem-follow akun yang bernada radikalisme dan terorisme, maka bisa diapstikan minimal ia adalah pro kelompok radikal. Walau mungkin belum menjadi anggotanya. Namun ini sudah dalam level mengkhawatirkan, karena simpati bisa berubah jadi cinta, dan cinta pada radikalisme adalah cinta buta yang menghancurkan karirnya.
Penyelidikan seperti ini sangat penting agar mencegah ada anggota kelompok radikal yang jadi ASN. Bukankah lebih baik mencegah daripada mengobati? Lebih baik meneliti dan menelusuri jejak digital dari awal, daripada kadung menerimanya lalu ketahuan ia pro radikalisme dan dipecat dengan tidak hormat.
Jangan sampai seorang aparatur sipil negara menjadi anggota teroris atau pro radikalisme, karena ia bisa menggerogoti lembaga negara atau kementrian dari dalam. Ia juga bisa menyalahgunakan jabatan dan wewenangnya untuk mendukung penyuburan radikalisme di Indonesia. Oleh karena itu, untuk mencegah hal buruk ini terjadi, harus dilakukan seleksi CPNS yang lebih ketat.
)* Penulis adalah kontributor Lingkar Pers dan Mahasiswa Cikini