Mewaspadai Penyebaran Radikalisme di School from Home
Oleh : Mubarika Anggraini )*
Anak adalah sasaran kaum radikal karena pikiran mereka masih polos. Mereka bisa terpapar radikalisme dari internet. Apalagi ketika sekolah dari rumah, jam untuk memegang gadget lebih lama dari biasanya. Orang tua wajib mengawasi anak-anak agar tidak terjeblos pada konten radikalisme di media sosial.
Di masa pandemi covid-19, anak-anak wajib school from home. Mereka mengerjakan tugas via WA dan mendengarkan ajaran guru via aplikasi Zoom. Kondisi ini membuat anak yang biasanya hanya boleh main HP hanya 1 jam dalam sehari, jadi memakai gawai lebih dari 6 jam. Efek baiknya, anak jadi bisa belajar walau di rumah saja. Namun ada juga efek buruknya.
Salah satu efek buruk dari pemakaian gawai terlalu lama ini adalah anak bisa terlalu bebas menggunakannya, hingga menemukan konten radikal di media sosial. Apalagi ketika orang tua sudah kembali bekerja di kantor dan tidak bisa menemani mereka belajar dari pagi. Anak bisa terpengaruh konten radikal karena mereka tidak tahu bahwa hal itu sangat terlarang.
Menurut Nahar, Deputi Perlindungan Anak Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, radikalisme dan terorisme bisa disebarkan via media sosial, bahkan Google dan Youtube. Apalagi ketika konten itu memiliki visual yang bagus. Anak bisa terpengaruh dan percaya pada omongan kaum radikal yang mereka anggap keren.
Orang tua wajib waspada akan pengaruh kaum radikal, karena mereka sudah bergerilya lewat dunia maya. Jadi jangan 100% percaya pada kegiatan anak saat mengakses internet. Sesekali, periksalah history di browser HP atau laptop, agar tahu bahwa mereka membuka apa saja. Apakah mencari pengetahuan lewat Google atau malah membaca konten radikal.
Ketika anak ternyata membaca konten radikal, jangan marah. Namun terangkan kepada mereka mengapa konten tersebut terlarang. Ajarkan pula bahaya radikalisme, apa saja kekacauan yang mereka lakukan selama ini, dan lain-lain. Anak akan tahu bahwa kaum radikal ternyata tidak semanis yang ia duga, dan jihad bukanlah jalan ninja menjadi pahlawan.
Jika orang tua tidak bisa menemani dan membimbing anak ketika school from home karena harus bekerja, maka minta nenek atau bibi untuk mengawasi mereka. Jadi, anak akan fokus belajar, bukannya berselancar di media sosial dan menemukan konten radikal. Ketika ada dananya, maka panggil tutor untuk mengajari dan memantau mereka, agar tak lepas kontrol.
Bagaimana jika tidak ada saudara atau tutor yang mendampingi anak? Orang tua bisa memasang kamera CCTV dan bisa dipantau lewat gadget. Bukannya paranoid, tapi buktinya ketika anak dibiarkan belajar sendiri, apalagi jika masih kelas 1-3 SD, ia cenderung suka bermain, bosan, dan akhirnya buka browser sembarangan. Padahal di sana banyak konten radikal.
Anak juga diajarkan untuk memiliki nasionalisme yang tinggi. Pajang foto Presiden dan wakilnya di dinding rumah. Jangan lupa memasang bendera merah putih, tak hanya saat 17 agustus, tapi di hari besar lain. Jika perlu, adakan upacara bendera di halaman depan rumah, ketika ada libur di hari nasional. Anak jadi terpantik rasa patriotisme dan nasionalismenya.
Ceritakan pada anak sejarah kemedekaan Indonesia dan bacakan buku bergambar mengenai para pahlawan. Jadi mereka tahu bahwa kemerdekaan adalah hasil dari perjuangan pahlawan yang berasal dari berbagai suku dan agama. Jika ada yang mengajak untuk membentuk negara khalifah, tentu tidak bisa, karena tidak sesuai dengan azas pancasila.
Kaum radikal menyusup di dunia maya dan anak bisa menemukan konten buatan mereka, jika tidak diawasi. Ketika anak bersekolah di rumah, maka aktivitas mereka saat berintenet harus dipantau. Tujuannya agar mereka benar-benar belajar, bukannya membuka konten radikal dan malah bercita-cita untuk jihad.
)* Penulis adalah warganet tinggal di Yogyakarta