Polemik Politik

Mewaspadai Politisasi Hoax Isu PKI Jelang Pilpres

Oleh : Rizki Lasarati )*

Pemilihan presiden dan wakil presiden baru Indonesia memang masih akan digelar pada April 2019 mendatang. Namun, meskipun kampanye secara resmi belum dimulai dan waktu pemilu masih cukup panjang, suhu politik di tanah air sudah mulai hangat bahkan mulai memanas. Masing-masing kubu secara militan mendukung jagoan andalan mereka hingga tak jarang terjadi banyak penyebaran isu hoax dan kampanye hitam.

Salah satu isu yang mulai merebak dan menjadi pemberitaan di beberapa media adalah soal PKI. Isu PKI merupakan isu yang bisa dikatakan selalu muncul setiap pesta demokrasi akan berlangsung khususnya dengan memanfaatkan momentum Hari Kesaktian Pancasila. Tidak dapat dipungkiri bahwa PKI merupakan mimpi buruk bagi Indonesia dan meninggalkan trauma bagi masyarakat setempat.

Harus diakui bahwa bangsa Indonesia mengalami trauma yang sangat pedih dan berkepanjangan perihal PKI. Partai yang berideologi komunis ini melakukan beberapa kali pemberontakan yang menewaskan banyak ulama dan masyarakat sipil. Tercatat, PKI melakukan dua kali rencana kudeta terhadap pemerintah, yakni pada tahun 1948 di Madiun dan 1965 di Jakarta.

Trauma ini membuat “hantu-hantu” PKI senantiasa bergentayangan di pikiran warga dan masyarakat Indonesia. Mereka merasa sangat ketakutan pemberontakan tersebut akan berulang jika PKI bangkit dan menunjukkan eksistensinya di kancah politik nasional. Latar belakang inilah yang membuat isu PKI selalu didengungkan, termasuk saat iklim politik di Indonesia mulai menghangat.

Sayangnya, isu ini seringkali dialamatkan  ke Presiden Indonesia yang juga selaku pihak petahana Pilpres 2019, Joko Widodo. Joko Widodo, dan partai pengusungnya, yakni PDI Perjuangan, dianggap berafiliasi dengan PKI. Opini inilah yang membuat masyarakat awam ikut serta menuduh Joko Widodo adalah pihak yang bermain mata dengan PKI.

Isu ini bukan pertama kali muncul. Sudah berulang kali isu PKI digemakan oleh berbagai pihak untuk menyerang eksistensi Joko Widodo. Namun, hingga saat ini, bisa dikatakan belum ada bukti valid mengenai keterlibatan Joko Widodo terkait aktivitas Partai Komunis Indonesia tersebut.

Beberapa waktu yang lalu, muncul buku Jokowi Undercover yang ditulis oleh Bambang Tri Mulyono. Buku tersebut sempat membuat publik Indonesia panas karena isinya mencakup latar belakang Joko Widodo yang dikatakan merupakan anak dari tokoh PKI di Jawa Tengah.

Namun, isi buku tersebut lebih condong kepada opini belaka dan tidak disertai riset yang mendalam. Dengan fakta ini, setidaknya, cukup sulit mengatakan bahwa buku tersebut bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Tidak hanya itu, Joko Widodo, selaku pihak yang tertuduh, juga melakukan klarifikasi terhadap isu liar yang berkembang di masyarakat. Beliau, pada suatu kesempatan, memastikan bahwa dirinya bukanlah anggota atau tidak memiliki afiliasi dengan PKI. Beliau mengatakan bahwa pada saat pemberontakan PKI terjadi di tahun 1965, beliau masih balita.

“Masa ada PKI balita?”, kata Presiden Joko Widodo di halaman parkir Sirkuit Internasional Sentul, Bogor, Jabar, Selasa (6/3/2018).

Selain itu, Joko Widodo juga mengatakan bahwa pemerintah berupaya untuk menjaga keamanan dan kestabilan negara dari isu-isu yang berkembang. Terkait isu PKI, beliau mengatakan bahwa masyarakat bisa melakukan tindakan preventif dan perlawanan jika diperlukan apabila menemukan aktivitas yang dicurigai berafiliasi dengan PKI. Dalam hal ini, Joko Widodo mengatakan gebuk, untuk segala aktivitas yang dilakukan PKI.

Penegasan yang dilakukan setidaknya memberikan secercah titik terang mengenai fakta Joko Widodo yang dianggap misterius bagi beberapa orang. Dengan fakta demikian, maka sudah sepatutnya isu PKI tidak digoreng kembali hanya untuk menjatuhkan calon peserta pemilu presiden pada 2019 mendatang.

Selain penegasan yang disampaikan oleh Joko Widodo bahwa dirinya tidak berafiliasi dengan PKI dan kesungguhannya untuk ‘menggebuk’ simpatisan, anggota atau badan yang berafiliasi dengan PKI, Joko Widodo juga merangkul ulama untuk pemilu presiden 2019 yang akan datang. Sebagaimana diketahui bahwa Joko Widodo akhirnya memilih Kyai Maruf Amin untuk mendampinginya sebagai calon wakil presiden.

Munculnya nama Kyai Maruf Amin mungkin awalnya terkesan mencengangkan karena Joko Widodo diprediksi mengambil Mahfud MD sebagai calon wakil presiden. Namun, publik dapat berkaca bahwa keterpilihan Kyai Maruf Amin menunjukkan keberpihakan Joko Widodo terhadap Ulama.

Kyai Maruf Amin bukanlah tokoh yang biasa. Beliau adalah ulama besar dari NU yang juga merupakan Ketua Majelis Ulama Indonesia. Dengan keputusan Joko Widodo mengambil ulama sebagai calon wakil presiden, sebenarnya isu PKI menjadi isu yang basi.

Fakta sejarah menjelaskan bahwa ulama adalah musuh utama PKI. Hal ini sesuai dengan propaganda yang dilakukan oleh PKI bahwa agama adalah candu masyarakat dan revolusi tidak akan bisa dilakukan tanpa menjauhkan masyarakat dari agama. Secara singkat, sangat tidak masuk akal jika Joko Widodo berafiliasi dengan PKI namun memilih ulama sebagai pendamping pada kontestasi pemilu presiden di tahun depan.

Dalam Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 dijelaskan bahwa PKI merupakan organisasi terlarang di Indonesia. Tidak hanya itu, peraturan tersebut juga melarang penyebaran ajaran Marxisme dan Leninisme di kalangan masyarakat awam. Tap MPRS tersebut masih berlaku hingga sekarang dan masih menjadi dasar hukum yang kuat mengenai kedudukan PKI di Indonesia.

Adanya Tap MPRS tersebut sebenarnya menegaskan bahwa tidak mungkin PKI, secara struktural, akan bangkit di Indonesia. Kegiatan yang dilandasi nama PKI akan dilarang oleh pemerintah secara resmi. Tidak hanya itu, pelarangan juga dilakukan untuk berbagai simbol yang berkaitan dengan PKI, seperti lambang palu arit pada kaus, pin, topi dan lainnya.

Dari sudut pandang ini, bisa dilihat bahwa isu miring terkait satu pasangan capres dan cawapres dengan lainnya merupakan bentuk militansi dari pendukung masing-masing. Tentu, mendukung secara militan tidak bisa disalahkan. Namun, bentuk dukungan seharusnya berkampanye dengan menjelaskan kesuksesan-kesuksesan masing-masing calon, bukan saling menjatuhkan calon lain. Dan lebih penting lagi, perbedaan politik seharusnya  jangan dijadikan alasan untuk saling bercerai berai.

Kampanye politik seharusnya bisa memberikan edukasi pada masyarakat awam, bukan malah memperlebar jarak dan jurang yang sudah ada.

 

)* Penulis adalah Kontributor Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia (LSISI)

Show More

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button

Adblock Detected

Kami juga tidak suka iklan, kami hanya menampilkan iklan yang tidak menggangu. Terimakasih