Mewaspadai Politisasi Tempat Ibadah Demi Kepentingan Politik Jelang Pemilu
Rumah Ibadah sejatinya merupakan tempat yang sering dijadikan oleh masyarakat untuk mengadakan pertemuan seperti pengajian atau ibadah berjamaah. Hal inilah yang terkadang dimanfaatkan oleh calon legislatif atau aktor politik untuk melakukan kampanye. Pastinya diperlukan strategi untuk mengantisipasi pemanfaatan rumah ibadah sebagai sarana kampanye jelang pelaksanaan Pemilu 2024.
Guna mewujudkan langkah tersebut tentu saja diperlukan adanya upaya dalam menjaga dan mewujudkan Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2024 mendatang berlangsung dengan aman, damai, bermartabat dan berkualitas.
Ketua Panitia FGD FKUB Kalbar Didi Darmadi mengungkapkan, meski peran tokoh agama selama ini sudah berjalan di tengah-tengah masyarakat, namun kegiatan seperti Focus Group Discussion (FGD) tetap diperlukan dalam upaya menguatkan peran tokoh agama menjelang Pemilu 2024.
Pihaknya juga terus mendorong dan menjaga terjalinnya kerukunan antar umat, guna menjaga kondisi serta menjaga dan mewujudkan Pelaksanaan Pemilihan Umum tahun 2024 mendatang dengan aman, damai, berkualitas serta mengantisipasi pemanfaatan tempat ibadah, maka pihaknya menyelenggarakan FGD dengan melibatkan semua unsur.
Sementara itu Ketua FKUB Kalbar, Ibrahim mengatakan bahwa Agama itu punya kedudukan yang sangat riskan dalam keagamaan, keagamaan sendiri memiliki dua potensi, yakni potensi positif dan potensi negatif. Potensi positif bisa menjadi kekuatan yang mendamaikan semua pihak, naun sebaliknya juga memiliki potensi yang destruktif yakni yang membuat orang bisa mati-matian demi agama bahkan rela mati demi agama dan jika hal ini dipolitisasi atau dipolitisir dalam keagamaan. Tentu saja hal tersebut akan menjadi ancaman yang membahayakan
Ibrahim menilai bahwa perlunya penguatan Peran Tokoh Agama dalam moderasi beragama dan mengantisipasi politisasi tempat ibadah agar tidak ada polarisasi dalam beragama.
Sementara itu Kementerian Agama Wilayah Kalimantan barat ini mengatakan bahwa moderasi beragama merupakan program utama dari diperkuat lagi dengan Keputusan Presiden (Kepres) nomor 58 Tahun 2023 tentang penguatan Moderasi beragama pada tanggal 25 September 2023.
Jika menengok pada sejarah, awal mula kampanye di masjid sebenarnya sudah muncul sebelum adanya partai politik dan dilaksanakannya sistem voting yang kita ketahui di sistem demokrasi.
Kala itu Muawiyah bin Abu Sufyan menggunakan masjid untuk berkampanye bahkan untuk menjatuhkan lawan politiknya yaitu khalifah Ali bin Abi Thalib. Dirinya memanfaatkan kasus pembunuhan khalifah Usman. Tak lupa membangkitkan kemarahan pendukungnya dengan memperlihatkan di dalam masjid damaskus barang–barang yang ditinggalkan Usman bin Affan beserta potongan jari istrinya.
Itu sebuah kisah lama yang tentunya tidak bisa dipergunakan lagi di era modern. Dimana ketika di dalam masjid tidak boleh bicara urusan lain seperti perdagangan dan urusan duniawi lainnya seperti politik praktis yang akan menimbulkan pertengkaran dan gesekan sosial.
Dalam hal ini tentu takmir masjid hendaknya menolak politikus dan tim pemenangan partai yang melakukan kampanye politik. Baik melalui ceramah, tebar pamflet hingga memasang spanduk di lingkungan masjid,
Politisasi masjid tentu akan meningkatkan kekhawatiran akan marwah masjid sebagai tempat merekatkan ukhuwah akan amburadul seketika akibat ceramah yang disusupi kampanye politik dan budaya menjatuhkan lawan politik seperti yang dilakukan muawiyah kepada khalifah Ali bin Abi Thalib. Sejatinya dakwah itu menyeru manusia ke jalan Allah SWT, bukan menyeru kepada golongan atau partai.
Di sisi lain, pengurus Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Kalbar, Wasilu dalam penyampaian materinya mengatakan pentingnya semua elemen mendukung pencegahan dan menangkal radikalisme serta Terorisme Menuju Pemilu 2024 yang aman dan damai.
FGD tersebut juga diakhiri dengan deklarasi dari semua peserta dan elemen dalam mewujudkan pelaksanaan pemilu 2024 mendatang dengan aman, damai, bermartabat dan berkualitas serta mengantisipasi pemanfaatan tempat ibadah sebagai sarana kampanye jelang pemilu, ya.
Masjid akan kehilangan keteduhannya jika isi khotbah dicampuri dengan penggiringan opini publik dan ujaran kebencian kepada lawan politik. Jamaah pulang dari masjid tentu saja membawa situasi yang tidak enak.
Maka apabila masih ada umat islam yang menodai masjid dengan kampanye di balik mimbar–mimbar masjid untuk mendapatkan kekuasaan dengan cara menebarkan kebencian dan caci maki terhadap sesama umat islam itu sendiri, pada hakikatnya mereka adalah anak ideologis dari Muawiyah yang terkenal dalam sejarah Islam sebagai pemimpin bengal, kejam dan haus akan kekuasaan.
Kali ini sudah saatnya umat Islam di Indonesia mengembalikan fungsi Masjid sebagai tempat untuk kepentingan dakwah dan kegiatan positif yang menyangkut hajat hidup banyak orang, serta menumbuhkan semangat toleransi di kalangan masyarakat. Tempat ibadah seperti masjid harus bersih dari segala hal yang erat kaitannya dengan kepentingan masjid, jangan sampai masjid yang semestinya menjadi tempat beribadah justru menjadi tempat untuk berkampanye atau berpropaganda jelang pemilu 2024.