Mewaspadai Provokasi KAMI Manfaatkan Momentum Demo Buruh
Oleh : Angga Gumilar :
Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) terus melakukan provokasi di tengah pandemi Covid-19. Bahkan, Masyarakat pun kecewa karena saat ini KAMI turut memprovokasi buruh untuk demonstrasi maupun mogok massal.
Presidium Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Gatot Nurmantyo menyerukan dukungan rencana mogok nasional buruh menolak RUU Ciptka Kerja. KAMI ikut menolak RUU Cipta Kerja atau sering disebut RUU Omnibus Law.
Terkait rencana mogok nasional buruh pada 6-8 Oktober, KAMI mendukung langkah konstitusional. KAMI juga menghimbau jejaring di daerah dan gerakan masyarakat sipil membantu kaum buruh untuk memperjuangkan hak-nya.
Pihaknya berpendapat bahwa salah satu peran menyelamatkan Indonesia adalah dengan menggagalkan pengesahan RUU Cipta Kerja.
Namun, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) sebelumnya telah mengeluarkan imbauan terkait rencana mogok nasional yang diisukan akan dilakukan pekerja atau buruh jelang pengesahan klaster ketenagakerjaan di RUU Cipta Kerja.
Apindo juga menghimbau agar anggotanya mampu memberikan edukasi kepada pekerja atau buruh terkait ketentuan tentang mogok kerja termasuk sanksi yang dapat dijatuhkan jika mogok kerja dilakukan tidak sesuai ketentuan khususnya di UU 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.
Para buruh tentu jangan mudah terprovokasi dengan kehadiran Gatot Nurmantyo, karena bisa jadi kedatangannya bertujuan untuk meraih simpati publik. Justru ada baiknya Buruh mempelajari terlebih dahulu substansi dari RUU Cipta Kerja tersebut, karena sebelumnya pemerintah telah berdiskusi dan tukar pendapat dengan perwakilan buruh.
Pengamat Ketenagakerjaan dari Indonesian Consultant at Law (ICLAW), Hemasari Dharmabumi, mengatakan, RUU Cipta Kerja memiliki peraturan upah minimum karena akan memberi jaminan kesejahteraan bagi pekerja.
Menurutnya, ketentuan upah minimum di dalam RUU Cipta Kerja itu akan berdampak positif untuk beberapa hal.
Dirinya menjelaskan, hanya akan ada 2 jenis upah minimum yang diatur dalam RUU Cipta Kerja, yaitu upah minimum provinsi dan industri padat karya. Untuk upah minimum kewilayahan, seperti upah minumum kabupaten (UMK) dan upah minimum sektoral kabupaten (UMSK) akan hilang.
Menurut Hemasari, RUU Cipta Kerja justru akan mengembalikan tujuan utama dari upah minimum sebagai jaring pengaman. Dalam regulasi tersebut juga akan diatur upah minimum berlaku bagi pekerja atau buruh dengan masa kerja kurang dari satu tahun pada perusahaan yang bersangkutan.
Dirinya menjelaskan, upah minimum seharusnya menjadi patokan upah untuk orang yang bekerja pada masa percobaan atau di bawah satu tahun. Untuk pekerja yang sudah bekerja lebih dari waktu tersebut, upahnya tidak boleh sama dengan upah minimum, harus di atas upah minimum dengan skala upah.
Pada kesempatan berbeda, Bambang Arianto selaku Direktur Institute for Digital Democracy (IDD) mengatakan, RUU Cipta Kerja dapat menjadi landasan pengaman pekerja dari pemutusan hubungan kerja (PHK) dan merevisi upah minimum pekerja. Dalam RUU Cipta Kerja ada ketentuan yang meminta perusahaan untuk bisa memberikan standar atau jaring pengaman perihal besaran upah minimum bagi karyawan baru melalui upah minimum provinsi.
Bambang mengatakan bahwa dalam RUU Cipta Kerja ada ketentuan yang meminta perusahaan untuk bisa memberikan standar atau jaring pengaman perihal besaran upah minimum bagi karyawan baru melalui upah minimum provinsi.
Sebelumnya DPR RI juga sempat menerima perwakilan serikat pekerja untuk membahas isu-isu krusial dalam RUU Cipta Kerja.
Dalam pertemuan tersebut mereka sepakat untuk membentuk tim perumus RUU Ciptaker.
Setidaknya ada 9 poin yang dibahas dalam pertemuan tersebut diantaranya adalah terkait dengan upah dan pesangon.
Sementara itu, hasil survey yang dilakukan Departemen Statistika Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Cyrus Network mengungkapkan mayoritas pekerja dan pencari kerja cenderung mendukung perampungan RUU omnibus law cipta kerja. Hal ini dilandasi bahwa regulasi tersebut dinilai dapat memperluas lapangan kerja dan meningkatkan kesejahteraan buruh.
Guru Besar Statistika IPB Khairil Anwar mengatakan, sebanyak 86% pekerja dan pencari kerja sepakat RUU Cipta Kerja dimaksudkan untuk menciptakan pekerjaan seluas-luasnya.
Survei tersebut digelar di 10 kota di Indonesia, meliputi Pekanbaru, Medan, Palembang, Jakarta, Surabaya, Banjarmasin dan Makassar.
Menurut Khairil, data survei tersebut menunjukkan tingginya angka persetujuan para pekerja dan pencari kerja terhadap maksud dan tujuan dari RUU Cipta Kerja.
Melalui statistik tersebut tentu saja kita perlu berhati-hati apabila dalam aksi buruh tersebut terdapat provokasi dari segelintir orang yang ingin mendapatkan panggung politis.
)* Penulis adalah kontributor Lingkar Pers dan Mahasiswa Cikini