Mewaspadai Provokasi KAMI Manfaatkan Momentum Demo Buruh
Oleh : Raditya Rahman )*
Gonjang-ganjing demo menolak omnibus law yang salah satunya dipelopori oleh Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) membuat masyarakat mulai lelah. Setelah ada demo sekaligus mogok massal selama 3 hari, lantas ada unjuk rasa lagi tanggal 13 oktober. Bisa jadi ada demo susulan sampai para penolaknya puas. Padahal kerusakan pada unjuk rasa kemarin sudah menelan biaya milyaran.
Demo menentang omnibus law di Jalan Merdeka Barat kemarin berakhir rusuh, bahkan massa berani melawan aparat. Kondisi ini sangat menyedihkan, karena mereka menyampaikan aspirasi namun dengan cara yang barbar. Padahal Presiden Jokowi sudah berpidato untuk menjelaskan omnibus law, namun massa tetap ngotot berdemo.
Para pendemo yang terdiri dari buruh, anggota ormas, dan sipil merasa bangga bisa mengeluarkan suara. Apalagi mereka didukung oleh KAMI. Presidium KAMI, Gatot Nurmantyo, sudah mengeluarkan pernyataan resmi bahwa mereka mendukung unjuk rasa untuk menentang omnibus law. Sehingga para pengunjuk rasa merasa dilindungi oleh nama besar anggota KAMI.
Padahal ada udang di balik batu. Tujuan KAMI untuk mendukung para pendemo bukan karena mereka menentang omnibus law, tapi memang ingin memprovokasi agar ada demo susulan, lagi dan lagi. Hal ini dilakukan agar pemerintah kerepotan. Juga sengaja membenturkan antara rakyat yang sedang berdemo dengan pemerintah.
KAMI mendukung para pengunjuk rasa agar mereka makin rajin membuat tindakan anarki. Jika ada kerusuhan, maka KAMI yang diuntungkan. Karena mereka tinggal menunggangi popularitas demo tersebut dan seolah-olah jadi juru selamat, agar tidak ada lagi kericuhan di Indonesia. Sesuai dengan namanya yakni menyelamatkan Indonesia.
Namun bagaimana mereka bisa menyelamatkan Indonesia kalau memprovokasi buruh untuk berdemo? Yang ada malah lebih banyak orang tertular corona dari klaster demonstrasi. Bukannya selamat, malah jumlah pasien covid-19 di negeri ini makin meroket. Terbukti dari para pendemo yang dites rapid, ada 12 orang yang positif corona. Miris!
Setelah ada korban corona baru dari klaster demonstrasi, apakah ada bantuan fisik dan moril dari KAMI? Apa mereka mau membayarkan biaya pengobatan yang mencapai ratusan juta rupiah? Karena bisa jadi para pendemo tidak punya kartu BPJS. Ketika pendemo harus isolasi mandiri, bisa terkucil dan hanya menunggu santunan dari KAMI yang tak kunjung datang.
Alih-alih membuat kedamaian, KAMI malah ikut menyebarkan corona, walau secara tak langsung. Dengan mendorong para buruh untuk berdemo. Padahal saat unjuk rasa, berapa kerugian yang terjadi? Pemda DKI harus mengganti infrastruktur yang rusak. Masyarakat juga kena getahnya. Karena tidak leluasa dalam beraktivitas saat ada unjuk rasa.
Padahal sebulan lalu KAMI menyatakan keberatan terhadap pilkada serentak yang menurut mereka bisa menyebabkan terjadnya klaster baru. Namun awal oktober ini, mereka malah mendukung aksi mogok massal sekaligus unjuk rasa untuk menentang omnibus law. Padahal sudah jelas bahwa kegiatan ini bisa menyebabkan penyebaran corona, karena tidak ada jaga jarak.
Hal ini menunjukkan KAMI yang tidak tegas dalam menghadapi suatu permasalahan. Bagaimana bisa ada perwakilan mereka yang jadi calon Presden kalau menunjukkan sifat plinplan seperti ini? Seharusnya rakyat menyadarinya, dan tidak lagi terpengaruh oleh hasutan KAMI, untuk menolak omnibus law dan melanjutkan aksi demo di depan gedung DPR.
Seharusnya rakyat sadar akan provokasi KAMI dan berhenti terpengaruh oleh dukungannya. Mereka hanya menunggangi aksi demo, namun tidak menyelamatkan rakyat dari efek pandemi. Omnibus law hanya dijadikan alasan, karena mereka hanya termakan hoax UU tersebut. Lagipula, UU itu terdri dari 800 lembar, apakah KAMI sudah membacanya dengan teliti?
Waspadalah akan akal KAMI yang berlagak menyelamatkan Indonesia dan ikut menolak omnibus law. Padahal dukungan terhadap buruh hanya dimaksudkan sebagai tameng. Juga provokasi agar rakyat terus membenci pemerintah dan melakukan demo lagi, sampai KAMI puas dan muncul sebagai satrio piningit. Mereka hanya mampu berkicau sambil membuat keonaran.
)* Penulis aktif dalam Lingkar Pers dan Mahasiswa Cikini