Mewaspadai Provokasi KST Papua Memanfaatkan Media Asing
Oleh : Rebeca Marian )*
Kelompok separatis dan Teroris (KST) di Papua terus melakukan provokasi dan mencari simpati untuk membenarkan aksi kejinya, termasuk dengan memanfaatkan media asing. Masyarakat diimbau untuk tidak terpengaruh dan menolak provokasi gerombolan tersebut.
Pada tahun 2020 lalu media asing sempat menyoroti upaya deklarasi pemerintahan sementara Papua Barat dimana Benny Wenda mendeklarasikan diri menjadi Presiden Papua Barat. Deklarasi tersebut bertepatan dengan momen HUT OPM.
Media asing menyoroti hal tersebut sebagai upaya deklarasi menuju pelepasan wilayah Papua Barat dari pemerintahan Indonesia. Kala itu Benny Wenda sempat mengatakan status pemerintahan sementara yang berarti Provinsi Papua Barat tidak akan tunduk kepada Indonesia.
Pada awal Mei 2021 lalu, sempat tersiar isu bahwa layanan Internet di Ibu kota provinsi Papua, Indonesia telah diputus, seiring dengan meningkatnya operasi militer di Papua Barat. BErita tersebut rupanya ditulis oleh Media Selandia Baru rnz.co.nz mewartakan bahwa perusahaan telekomunikasi PT Telkom Indonesia memastikan layanan Internet di Jayapura terganggu pada jumlat malam.
Dikatakan gangguan itu karena terputusnya Sistem kabel Sulawesi, Maluku, Papua di Jalur Biak-Sarmi. Media asing tersebut tentu saja patut diwaspadai, apalagi jika mereka tidak paham isu di Indonesia lalu tergiring oleh opini yang digembar-gemborkan oleh KST yang ingin menyatakan berpisah dari Indonesia.
Sebelumnya media asing juga sempat menyoroti tuntutan warga Papua untuk referendum. Salah satu media asing yang mewartakan perkembangan kerusuhan di Papua adalah media ternama asal Inggris, Reuters. Bahkan Reuters sampai menyoroti “perubahan arah” protes dari berberapa warga Papua yang meminta referendum dari pemerintah Indonesia
Dalam artikelnya yang bertajuk Protest In Indonesia’s Papua Spotligjt Deman for independence Referendum. Media Inggris tersebut menuliskan bagaimana ribuan warga Papua amsih meneruskan serangkaian aksi unjuk rasanya di beberapa wilauyah di Papua.
Reuters juga menggarisbawahi bahwa protes yang meletus karena isu diskriminasi etnis, yang memicu tuntutan kepada pemerintah untuk referendum. Dalam pemberitaannya, Reuters juga menggambarkan bagaimana bendera bintang kejora sempat dinaikkan selama 1 hingga 1,5 jam. Namun, Reuters menambahkan kesaksian Yosep yang mengklaim bahwa protes warga Papua kala itu berlangsung dengan damai.
Meski Reuters mengutip pengakuan Yosep terkait dengan suasana damai demonstrasi, tetapi dalam paragraf selanjutnya, media berbasis di London ini memperlihatkan fakta berbeda dari liputan salah satu pengacara hak asasi manusia, Veronica Koman.
Untuk menguatkan beritanya tentang tuntutan warga Papua untuk meminta referendum, Reuters juga mengutip perkataan dari Letkol Imam Hariyadi yang menyatakan bahwa pihak berwenang sebenarnya telah menyelidiki lima tentara yang terlibat dalam insiden ujaran rasisme terhadap mahasiswa Papua di Jawa Timur, tetapi beberapa aksi unjuk rasa justru meluas menjadi tuntutan referendum Papua.
Tak hanya itu, Reuters juga menuliskan ucapan Gubernur Papua, Lukas Enembe yang seolah mengatakan kepada publik bahwa permintaan referendum adalah hak rakyat Papua. Tentu saja hal tersebut harus membuat kita semakin waspada dengan berita yang belum tentu kebenarannya.
Perlu kita ketahui bahwa PBB telah menolak rencana referendum Papua, dan memutuskan bahwa Papua dan Papua Barat merupakan bagian dari Indonesua yang tidak bisa diganggu gugat. Keputusan tersebut disampaikan oleh Duta Besar/wakil tetap Indonesia untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Dian Triansyah Djani di Jenewa.
Keputusan tersebut dihaslikan saat gelaran debat publik negara calon anggota Dewan HAM di Jenewa tersebut, Indonesia mendapat sejumlah pertanyaan terkait referendum Papua dari berbagai. Selain itu, PBB juga mendukung kedaulatan dan integritas wilayah Indonesia dan integritas wilayah Indonesia dan isu kedaulatan bukan suatu pertanyaan status PBB.
Pihak PBB juga memahami adanya kelompok separatis yang terus-menerus membuat berita hoax dan demo anarkis dan tindak kekerasan. Pihaknya juga mengingatrkan ara masyarakat kepolisian tetap dapat menahan diri agar tidak menimbulkan dampak yang buruk dan menyulitkan pemerintah.
Meski demikian, kabar hoax tersebut bisa kita pangkal dengan menyampaikan aturan dari hukum internasional, yang menjelaskan bahawa berdasarkan hukum internasional, referendum hanya dapat dilakukan dalam konteks kolonialisme, atau wilayah terkait masuk dalam daftar wilayah perwalian dan non-pemerintahan sendiri yang dirilis oleh PBB.
Media asing tentu sangat mudah memberitakan tentang apa yang mereka lihat di lapangan, sehingga kita perlu bersikap kritis apabila terdapat berita yang menyatakan dukungan terhadap pembebasan Papua Barat. Masyarakat juga diharapkan kritis terhadap berbagai informasi yang berkembang, termasuk terhadap media asing demi terjaganya keutuhan NKRI.
)* Penulis adalah mahasiswi Papua tinggal di Jakarta