Mewaspadai Radikalisme dan Intoleransi Incar Generasi Muda
Oleh : Abdul Hakim )*
Masyarakat perlu mewaspadai penyebaran radikalisme dan intoleransi yang dapat mengincar generasi muda. Pemuda merupakan tulang punggung untuk memajukan bangsa, sehingga harus terhindar dari pengaruh kedua paham tersebut.
Bisa dipastikan hampir semua kasus radikalisme yang kemudian mengarah kepada paham ekstrimisme biasanya diawali dengan sikap intoleransi. Sehingga boleh dikata sikap intoleransi merupakan bibit dari kegiatan radikalisme maupun terorisme.
Islah Bahrawi selaku Direktur Eksekutif Jaringan Moderat Indonesia mengatakan, Intoleransi adalah hal yang membentuk radikalisme. Kalau sudah terbentuk radikalisme akan terbentuk pula ekstrimisme, jika ini dibiarkan tataran terakhir nantinya adalah terorisme.
Menurutnya, sikap intoleransi dengan radikalisme bukanlah irisan sikap yang berbeda, tetapi justru saling menopang. Islah mengakui, bahwa paham radikal sudah menjadi polemik di seluruh dunia.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol Boy Rafli Amar mengatakan bahwa generasi muda Indonesia perlu meningkatkan kewaspadaan terhadap persoalan intoleransi, radikalisme dan terorisme. Sebagai calon pemimpin bangsa, generasi muda jangan sampai mengalami disorientasi terhadap bangsanya.
Salah satu upaya pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan bijak dalam mengakses media sosial. Mengingat saat ini banyak misinformasi yang beredar di sosual media, penting kemampuan untuk memilih rujukan yang tepat dalam mengakses informasi agar tidak terprovokasi.
Dikatakan Boy Rafli, saat ini utamanya di tengah pandemi, ada peningkatan pemanfaatan media sosial dalam penyebarluasan konten radikalisme. Untuk itu perlu adanya kewaspadaan penggunaan media sosial khususnya pada generasi muda.
Selain bijak dalam mengakses media sosial, upaya pencegahan dan penanggulangan intoleransi dan radikalisme dapat dilakukan melalui peningkatan wawasan kebangsaan, keagamaan dan sosial politik.
Boy juga mengingatkan kepada generasi muda, agar jangan sampai melupakan jati diri bangsa. Perlu pemahaman kuat terkait perjuangan sejarah bangsa untuk dapat dicerna, hayati dan amalkan.
Intoleransi serta radikalisme dapat mengancam demokrasi dan menghambat pembangunan di Indonesia. Generasi muda yang memwakili seperempat dari 270 juta penduduk Indonesia, sangat rentan terhadap ujaran kebencian dan pesan radikal.
Jika sikap intoleransi semakin ditonjolkan, tentu kemunduran suatu bangsa adalah keniscayaan, karena sikap tersebut menyebabkan pemerintah sulit untuk membangun kebijakan.
Selain itu, sikap intoleransi juga memiliki potensi untuk menimbulkan perpecahan karena konflik sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Bisa karena ekonomi, status sosial, ras, suku, agama dan kebudayaan.
Wakil Presiden Ma’ruf Amin sempat menyesalkan adanya praktik intoleransi yang sudah sampai pada sikap tidak mau bersahabat, duduk bersebelahan atau melakukan aktivitas bisnis dengan kelompok atau individu yang berbeda agama atau keyakinan. Ia juga khawatir jika intoleransi ini dibiarkan akan berbahaya dan merusak keutuhan bangsa Indonesia.
Dirinya juga berujar, bahwa Intoleransi terhadap kepercayaan lain merupakan pelanggaran terhadap konstitusi. Konstitusi kita tentu menjami hak kebebasan beragama, hal tersebut tertuang pada UUD 1945 Pasal 28E ayat (1) dan Pasal 29 ayat (2).
Kita harus sadar bahwa toleransi bukanlah sekadar istilah dan penegasan akademik semata, tetapi praktik keberagaman dalam menyikap keragaman. Toleransi membutuhkan aksi nyata dalam setiap tindakan. Karena itulah, mengarusutamakan prinsip, wawasan, dan praktik toleransi di tengah masyarakat yang Bhineka adalah sebuah keniscayaan.
Perlu kita ketahui juga bahwa radikalisme adalah upaya sistematis yang dilakukan individu atau kelompok untuk melakukan perubahan radikal sampai ke akar-akarnya dengan kekerasan. Paham ini akan sangat berbahaya jika diamini oleh generasi muda, tentu saja kita menginginkan masa depan Indonesia yang aman dan damai, sehingga bangsa ini memerlukan generasi muda yang mampu menciptakan perdamaian di Indonesia.
Radikalisme itu sendiri dalam bentuknya memang seakan terasa lunak karena tidak menimbulkan kekerasan langsung, karenanya tidak menarik perhatian pihak keamanan dan masyarakat-pun tidak memberikan perhatian khusus.
Pada 2015 lalu, dalam survey The New Research Center mengungkapkan di Indonesia, sekitar 4% masyarakat Indonesia mendukung ISIS, sebagian besar dari mereka merupakan anak muda usia produktif. Dalam banyak kasus di lingkungan kerja, fenomena radikalisme ini banyak memanfaatkan ruang-ruang tertutup dan aktifitas ekslusif yang sulit dideteksi dan diawasi.
Intoleransi dan Radikalisme yang mengincar generasi muda memang belum berhenti beroperasi, paham tersebut mampu masuk ke dalam ruang senyap yang sulit terdeteksi namun mudah diakses oleh siapapun, sehingga perlu upaya untuk membentengi generasi muda dari paparan paham radikal dan intoleransi.
)* Penulis adalah kontributor Pertiwi Institute