Mewaspadai Radikalisme Menyasar Kalangan Mahasiswa dan ASN
Oleh : Muhamad Toha )*
Kaum terdidik seperti Mahasiswa dan ASN rupanya termasuk dalam kelompok yang rawan terpapar paham radikal, hal tersebut dikarenakan mereka lebih mudah mengenal berbagai ideologi, salah satunya ekslusifisme terhadap hal tertentu yang mendorong kecenderungan sikap intoleransi.
Mantan Ketua Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Yudi Latief menilai, orang yang terdidik memiliki harapan mobilisasi secara vertikal.
Saat harapan mobilitas vertikal dihadapkan kenyataan ekonomi yang sedang landai, lapangan kerja tidak tersedia dan akses usaha terbatas, maka harapan mereka menjadi terbatas dan membuat frustasi.
Hal tersebut bisa saja berdampak pada pelarian mereka kepada kelompok militan. Mereka menganggap bahwa kelompok tersebut merupakan jaminan sosial, rasa aman dan lain sebagainya.
Mahasiswa dan ASN dianggap sebagai kelompok masyarakat strategis yang potensial menjadi sasaran penyebaran radikalisme. Pemerintah pun perlu mewaspadai kemungkinan adanya calon pegawai negeri sipil yang terpapar radikalisme.
Ketika pemerintah membuka 152.286 formasi calon pegawai negeri sispil yang tersebar pada 68 kementerian dan lembaga serta 462 pemerintah daerah, bukan tidak mungkin sebagian calon ialah orang-orang yang sudah dan berisiko terpapar radikalisme.
Sementara itu, kalangan orang-orang yang sudah menjadi ASN, saat ini juga bukan tidak mungkin mereka merupakan orang yang telah terkontaminasi radikalisme.
Idealnya, sosok ASN adalah warga negara yang sepenuhnya mendukung NKRI, sosok-sosok yang moderat, dan tidak memiliki agenda tersembunyi terhadap eksistensi negara.
ASN adalah golongan masyarakat yang tidak hanya bertugas melayani masyarakat, tetapi nantinya cepat atau lambat mereka akan menduduki jabatan strategis yang memiliki akses dalam mengelola anggaran. ASN yang sudah berpengalaman bahkan akan menjadi bagian dari penentu kebijakan serta program yang didukung anggaran negara.
Bisa dibayangkan betapa berbahaya dan riskannya ketika calon pegawai negeri yang telah dinyatakan lolos menjadi ASN ternyata merupakan penganut radikalisme yang berpotensi merongrong eksistensi negara dari dalam.
Untuk memastikan apakah ASN di Indonesia benar-benar steril dari paham radikal, tentu tidak cukup dilakukan apabila hanya dengan mengandalkan tes kompetensi dasar dan kompetisi bidang. Selain terus melakukan pembinaan dan menginternalisasikan nilai-nilai Pancasila, yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana pemerintah melacak rekam jejak digital calon ASN terkait dengan radikalisme.
Yang harus diwaspadai adalah Calon ASN serta ASN yang terbiasa menghasilkan ujaran kebencian, terlibat penyebaran hoaks dan melecehkan Pancasila yang merupakan dasar negara.
Tidak hanya kalangan pegawai seperti ASN ataupun CASN saja yang menjadi sasaran radikalisme. Anak muda khususnya mahasiswa juga tak luput dari sasaran radikalisme. Pasalnya paham ini juga menyebar melalui media sosial yang kerap diakses oleh anak muda.
Media sosial atau media cyber merupakan ruang imajiner yang memungkinan siapapun untuk membangun identitas dan dunia mereka yang baru. Sekalius menjalin komunikasi dengan orang lain.
Sebut saja ada 150 juta pengguna aktif media sosial di Indonesia. sedangkan separuh lebihnya merupakan anak muda usia produktif. Tentu saja angka tersebut menawarkan celah bagi kaum radikalis untuk menghembuskan ideologinya. Awalnya mereka akan mengajak untuk bersikap intoleran hingga ujungnya mereka akan menghembuskan dogma bahwa pancasila adalah thagut.
Gerakan yang mendukung sistem pemerintahan Islam Khilafah menguat di kampus-kampus pascareformasi yang antara lain dilakukan oleh Hizbut Tahrir Indonesia, HTI yang berniat ingin mendirikan negara Islam.
HTI ini bersifat senyap dan pada waktu itu memang kerap mendapat atensi dari kalangan mahasiswa. Endingnya ketika ada masalah politik, mereka akan melaksanakan aksi turun ke jalan bukan untuk mengkritisi apa yang sudah dilakukan oleh pejabat atau politisi, tapi mereka akan secara terang-terangan membawa spanduk yang bertuliskan dukungan kepada sistem khilafah.
Mereka yang kecewa dengan sistem demokrasi, lantas berbondong-bondong memberikan dukungan terhadap sistem khilafah dan mendukung “jihad” umat muslim yang hendak berangkat ke Suriah.
ASN dan Mahasiswa merupakan kelompok masyarakat yang memiliki pengaruh sosial cukup kuat. ASN memiliki jabatan dan wewenang sedangkan Mahasiswa memiliki jalan pikiran dan kekuatan masa yang tidak sedikit. Jika paham radikal masih menyerang kepada kedua kelompok tersebut, tentu saja kita patut semakin waspada.
)* Penulis adalah Mahasiswa Universitas IAIN Kendari