Mewaspadai Rekrutmen Kelompok Teroris Milenial Melalui Media Sosial
Oleh : Raavi Ramadhan )*
Kelompok teroris mulai merekrut anggota dari remaja milenial. Mereka menggunakan media sosial untuk sarana mencari anak buah baru dan pengkaderan. Sebagai orang tua, kita patut lebih waspada. Jangan sampai anak ABG jadi salah jalan dan hanya ingin melakukan aksi teror dan pengeboman.
Saat ZA, tersangka penembakan Mabes Polri diteliti identitasnya, terkuak fakta bahwa ia masih berusia 25 tahun. Begitu juga dengan pasangan pengantin bom di Makassar. Mereka juga masih berumur 20-an. Hal ini menunjukkan bahwa kelompok teroris saat ini memilih kader dari anak-anak muda (di bawah 30 tahun) agar mereka menurut dan mau diajak melakukan kekerasan.
Perekrutan anak-anak ABG sebagai anggota teroris tentu mengejutkan. Karena dulu tersangka teroris sudah berusia dewasa atau setengah tua, seperti Amrozi, Imam Samudra, atau Abubakar Baasyir. Namun saat ini anak muda sudah di-hunting oleh kelompok teroris agar mau dijadikan kader dan pasrah jadi pasangan pengantin bom.
Haris Amir Falah, mantan narapidana terorisme menyatakan bahwa generasi muda rentan terkena radikalisme. Mereka berusia di bawah 30 tahun dan itu adalah usia yang krusial, karena bertemu dengan kelompok teroris yang memiliki doktrin untuk menunjukkan kehebatan diri. Mereka juga berjanji akan mewujudkan keinginannya.
Haris yang mantan pemimpin JAT (sebuah kelompok teroris) bahkan mengaku bahwa ia dulu direkrut saat masih sekolah di SMA, karena masih fase mencari jati diri. Saat ini, kelompok teroris malah menggunakan dunia maya untuk mencari anggota baru. Di antaranya memakai media sosial Facebook dan aplikasi chatting Telegram.
Pernyataan Haris tentu mengejutkan, karena kelompok teroris telah memanfaatkan kecanggihan teknologi untuk perekrutan dan pengkaderan. Dari channel Telegram serta grup Facebook, sengaja didesain agar anak muda mau bergabung demi alasan hijrah. Padahal modus di baliknya adalah perekrutan anggota teroris yang memiliki jaringan dengan ISIS.
Para anggota teroris di dunia maya memang sengaja mencari anak SMA-kuliah untuk jadi anggota baru, dan diberi doktrin serta janji palsu. Doktrin yang dibuat untuk meracuni pikiran adalah umat lain salah, menebas musuh itu dihalalkan darahnya, berjihad itu keren, dll. Selain itu, anak-anak muda diperdaya dengan janji bahwa setelah menjadi pengantin bom akan dijamin masuk surga karena telah melaksanakan jihad.
Doktrin seperti ini tentu salah besar, karena menjadi pasangan pengantin bom tentu membuat mereka sendiri kehilangan nyawa. Mereka tak mungkin dimasukkan ke surga, karena mati karena bunuh diri. Bagaimana bisa mereka ingin masuk surga sementara merugikan orang lain dan membuat banyak pihak terancam keselamatannya? Sungguh tega dan gila pembuat doktrin tersebut.
Banyak anak muda yang akhirnya mau-mau saja jadi anggota teroris, karena mereka bertemu dengan dedengkot terorisme di dunia maya. Dalam dunia psikologi, dijelaskan efek mengapa pengaruh suatu doktrin bisa dengan mudah masuk via media sosial. Karena saat manusia membuka FB atau Telegram, otaknya dalam anggota rileks, sehingga relatif mudah dipengaruhi.
Para anak muda dengan mudah dipengaruhi karena para teroris memiliki kemampuan untuk hipnotis dan skill merayunya kelas tinggi. Mereka dicekoki dengan doktrin bahwa berjihad untuk membela umat. Oleh karena itu, boleh melemparkan bom ke orang dengan keyakinan lain, karena termasuk berjihad.
Padahal berjihad tidaklah seperti itu. Ketika perang telah usai, maka jihad bisa dimaknai dengan perang melawan nafsu diri sendiri, dengan lebih sering puasa sunnah dan melakukan ibadah di awal waktu. Bekerja juga dikategorikan jihad karena membela hak keluarga dan melawan kemalasan.
Sebagai orang tua, maka wajib untuk makin waspada dan mengawasi anak-anak remaja dan mahasiswa, agar mereka tidak terperosok jadi anggota teroris. Pastikan mereka tidk pernah berkontak dengan teroris dan sesekali awasi media sosialnya. Karena para petinggi teroris telah merambah dunia maya untuk merekrut para ABG.
)* Penulis adalah kontributor Lingkar Pers dan Mahasiswa Cikini