Polemik Politik

Mewaspadai Virus Radikalisme Memapar KPK

Oleh : Ahmad Hilmi )*

Radikalisme di Indonesia merupakan musuh besar bersama yang dapat menghambat laju perkembangan bangsa, salah satu parasit negara tersebut bisa dibilang telah menjadi sistem negara yang sangat rapi dan terorganisir.

Ketika mengamati kondisi negara akhir – akhir ini, tentu kita tak dapat mengelak bahwa Indonesia sedang terjangkit virus radikalisme dan korupsi yang sangat akut, dimana kedua hal tersebut berdampak buruk pada perkembangan negara dan masyarakat Indonesia.

            Publik dan netizen tengah ramai oleh topik perihal revisi undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bersamaan dengan mencuatnya gerakan revisi UU KPK ini, isu radikalisme disisipkan di dalamnya. Setidaknya untuk memberi justifikasi kuat atas rencana revisi UU KPK tersebut.

            Bahaya akan radikalisasi dan liberalisasi di ASN memerlukan penanganan lebih serius. Ancaman radikalisasi dengan berbagai tingkatan telah memasuki berbagai kementrian/lembaga.

            Ancaman akan radikalisme juga terjadi di lembaga yang seringkali menjadi harapan terakhir masyarakat dalam penindakan korupsi di Indonesia, siapa lagi kalau bukan KPK. Informasi yang berkembang di masyarakat adalah adanya perkembangan intoleransi di KPK. Perkembangan tersebut ditengarai menjadi penyebab tindakan tebang pilih dalam penanganan kasus korupsi oleh instansi tersebut.

            Keterlibatan mantan penasehat KPK dalam aksi unjuk rasa yang melibatkan kelompok yang eksklusif dalam menyikapi hasil Pemilu 2019 tempo hari perlu diwaspadai. Demikian pula perli kita cermati, jika ada keterlibatan komisioner dan pegawai KPK dengan kelompok eksklusif tertentu. Di sisi internal, perlu dilihat kembali pola rekrutmen, pendidikan hingga pembinaan pegawai KPK.

            Ada baiknya ditinjau kembali sejarah mengenai terbentuknya KPK melalui UU No.30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU tersebut merupakan penguatan dari Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) yang telah ada sebelumnya berdasarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

            Pascaterbitnya UU No.30/2002 tersebut, KPKPN menjadi bagian dari KPK menjadi bagian Bidangg Pencegahan pada Komisi Pemberantasan Korupsi. Para pegawai yang bekerja di KPK berasal dari berbagai instansi pemerintah seperti Kementrian Keuangan (Kemenkeu), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Kepolisian RI dan lain – lain.

            Keterlibatan berbagai instansi pemerintah tersebut di internal KPK perlu ditinjau ulang secara komprehensif mengingat perkembangan intoleransi di berbagai Kementrian maupun Lembaga telah berada pada tahap yang mengkhawatirkan khususnya yang berasal dari Kementrian Keuangan.

            Pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani pada pelantikan pejabat eselon 2 dan 3 di lingkungan Kementrian Keuangan pada Juni lau, merupakan sebuah peringatan kepada aparatur sipil negara di lingkungan Kementrian Keuangan agar menjauhi kelompok radikal dan kembali setia kepada Pancasila sebagai dasar negara.

            Secara tegas kita tentu sudah memahami bahwa radikalisme jelas tidak pancasilais dan memang ingin merusak ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yaitu dasar negara pancasila.

            Tentunya dengan adanya Badan Pengawas KPK yang langsung berada di bawah Presiden RI. Seperti diketahui pembentukan Dewan Pengawas KPK, merupakan salah satu tujuan yang akan dihasilkan dari Revisi UU Nomor 30/2002 tentang KPK yang saat ini tengah dirampungkan oleh DPR RI.

            Di sisi lain, Pakar Komunikasi, Ade Armando mengatakan, banyak kaum Islamis ditemukan di jajaran pegawai KPK, baik di kalangan penyidik/penyelidik maupun pegawai lainnya.

            Meski tidak termasuk mayoritas, namun kelompok tersebut sangat aktif dan memiliki suara yang kencang. Ade mencatat, kira – kira 25% dari seluruh Pegawai KPK. Namun mereka aktif mengorganisir diri dan berpolitik di dalam kantor KPK. Sementara yang Islam moderat dan Kristen, tidak melakukan hal seperti itu.

            Para pegawai Islamis inilah yang  pada saat Pilgub DKI 2016/2017 terlibat dalam gerakan 212. Mereka mengundang ustadz- ustadz Islamis ke masjid KPK, termasuk juga ustadz Zulkarnaen.

            Hal ini tentu menjadi pekerjaan rumah sendiri bagi pimpinan KPK terpilih Firli Bahuri. Dirinyapun telah mengatakan dengan tegas, bahwa kelompok radikal adalah perusak ideologi bangsa. Dalam hal ini penting kiranya Pimpinan KPK menunjukkan sikap tegas kepada siapapun yang ketahuan merusak bendera Indonesia.

)* Penulis adalah pengamat sosial politik

Show More

Related Articles

Back to top button

Adblock Detected

Kami juga tidak suka iklan, kami hanya menampilkan iklan yang tidak menggangu. Terimakasih