Mewujudkan Pemilu 2019 Damai Tanpa Bayang Terorisme
Oleh : Mustakim )*
Pemilu adalah salah satu indikator pelaksanaan demokrasi di suatu negara. Keberhasilan pelaksanaan Pemilu bisa jadi merupakan tolok ukur keberhasilan demokrasi. Pelaksanaan Pemilu harus dijaga dan diamankan dari pihak-pihak yang berusaha mencoreng citra negara demokrasi. Seluruh negara demokrasi pasti akan meningkatkan pengamanan dan kesiagaan menjelang pelaksanaan Pemilu di negaranya, tak terkecuali Indonesia. Selain berita hoax, ancaman pelaksanaan Pemilu juga bisa datang dari aksi terorisme.
Menjelang pelaksanaan Pemilu 2019, Indonesia menyatakan akan memerangi aksi terorisme untuk mewujudkan Pemilu damai, serta menjamin keamanan negara dan keselamatan rakyat dalam pesta demokrasi. Meskipun dalam keadaan aman, negara harus tetap waspada terhadap potensi teror yang ada. BNPT, Kepolisian, TNI, serta peran serta masyarakat harus bekerja sama dalam memerangi dan mencegah aksi terorisme.
Pengamat terorisme, Al Chaidar menengarai ancaman teror dari kelompok-kelompok radikal masih potensial di Indonesia. Bahkan, jaringan yang berafiliasi dengan ISIS diperkirakan akan merusak pelaksanaan Pemilu 2019. Target teroris mengacaukan Pemilu 2019 karena mereka menganggap demokrasi itu haram. Sementara itu, bebasnya Abu Bakar Ba’asyir (ABB) dari penjara tidak perlu banyak dikhawatirkan. ABB tidak lagi dalam posisi komando, hanya sebagai pemimpin spiritual mengisi tausiah dan wejangan, dan tidak lagi memiliki wewenang memberikan perintah. Bebasnya ABB dinilai tidak memberikan pengaruh negatif pada aksi terorisme, sebaliknya ABB mungkin bisa meredam niatan jaringan teroris untuk melakukan serangan.
Dalam mencegah aksi terorisme menjelang Pemilu 2019, Presiden telah menginstruksikan BNPT dan kepolisian serta instansi terkait lainnya untuk lebih mewaspadai aksi terorisme. Tak hanya itu, peran Kemendagri juga dilibatkan dalam bentuk upaya memonitor dan memberikan layanan kependudukan kepada eks narapidana terorisme dan mantan kombatan. UU Anti Terorisme yang telah disahkan membuat lembaga negara memiliki legalitas hukum yang jelas dalam memberantas terorisme.
Pemerintah juga fokus mencegah penyebaran ajaran radikal yang menjadi akar masalah terorisme di media maya dan sosial. Media maya dan sosial banyak digunakan organisasi teror seperti ISIS untuk melakukan komando kepada jaringannya di seluruh dunia. Bahkan pemimpin ISIS, Abu Bakr al-Baghdadi, menghimbau kepada jaringan di berbagai negara melalui dunia maya, agar bergerak pada level nasional dan lokal untuk melawan pemerintah masing-masing. Tidak heran, sasaran aksi teroris bergeser dari simbol Barat ke simbol pemerintah.
Sebagai langkah pencegahan aksi terorisme menjelang Pemilu 2019, pendekatan soft dan hard oleh pemerintah terus diperkuat. Program deradikalisasi (menurunkan tingkat radikal seseorang) saat ini dilakukan secara menyeluruh. Lembaga pemerintah telah membangun kewaspadaan terhadap aksi terorisme yang dapat mengancam keselamatan warga negara. Untuk itu, masyarakat juga harus terlibat setidaknya ikut membangun kewaspadaan di lingkungannya.
Pelibatan masyarakat dalam mencegah aksi terorisme sangat perlu mengingat masyarakat adalah pengamat langsung di lapangan. Dengan kondisi demografis Indonesia yang begitu luas, pengawasan masyarakat mutlak diperlukan untuk menghambat aksi terorisme. Masyarakat tidak seharusnya permisif atau membiarkan pihak yang mencurigakan tanpa melaporkan kepada instansi berwenang. Lembaga pemerintah harus bekerja sama dan didukung oleh masyarakat agar aksi terorisme dapat dicegah secara menyeluruh, sehingga pelaksanaan Pemilu 2019 aman dan damai dapat diwujudkan.
)* Mahasiswa Universitas Ibnu Khaldun Bogor