MK Nilai Seluruh Proses Pembentukan UU Cipta Kerja Tidak Menentang Konstitusi
Oleh : Clara Diah Wulandari )*
Mahkamah Konstitusi (MK) menilai bahwa seluruh proses pembentukan UU Cipta Kerja sama sekali tidak menentang akan ketentuan apapun dalam konstitusi UUD NRI 1945. Justru dengan adanya aturan tersebut mampu menjaga terus stabilitas perekonomian nasional.
Terdapat sebanyak 5 (lima) permohonan uji formil pada Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang kini menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja), seluruhnya ditolak oleh pihak Majelis Hakim Konstitusi.
Dalam pertimbangan hukum Perkara Nomor 54/PUU-XXI/2023 yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi, M. Guntur Hamzah, disebutkan bahwa pata pemohon mendalilkan bahwa Perppu Nomor 2 Tahun 2022 itu sebagai cikal bakal dari lahirnya UU Cipta Kerja telah ditetapkan oleh Presiden Republik Indonesia (RI) dengan melanggar Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait adanya meaningful participation.
Kemudian dengan sangat tegas, terhadap bagaimana dalil yang diajukan oleh pihak pemohon tersebut, Mahkamah Konstitusi sendiri berpendapat bahwa berdasarkan kerangka hukum dari pembentukan Undang-Undang yang berasal dari Perppu, sebuah Perppu yang telah ditetapkan oleh seorang Presiden harus mendapatkan persetujuan dari pihak parlemen, yakni Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) agar tetap memiliki daya keberlakuan sebagai UU.
Dalam penjelasan pada Pasal 5 huruf g UU 12 Tahun 2011 telah menentukan pengertian dari asas keterbukaan, yakni dalam pembentukan suatu peraturan perundang-undangan mulai dari tahap perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan hingga pengundangan tentunya bersifat transparan dan terbuka.
Sehingga, karena sudah termaktub dengan jelas, maka seluruh lapisan dan kalangan elemen masyarakat memiliki kesempatan yang sangat luas untuk bisa memberikan masukan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Terlebih, adanya aspek kegentingan yang memaksa menjadikan syarat dalam penerbitan Perppu menyebabkan proses pembentukan UU yang berasal dari Perppu memang memiliki keterbatasan waktu. Sehingga secara rasional, memang perlu adanya pembedaan antara UU yang berasal dari Perppu dengan UU biasa, termasuk dalam pelaksanaan prinsip meaningful participation.
Oleh karenanya, proses persetujuan RUU penetapan Perppu menjadi Undang-Undang Cipta Kerja di DPR RI sama sekali tidak relevan untuk melibatkan adanya asas partisipasi masyarakat yang bermakna lantaran memang adanya sifat kegentingan yang memaksa dan limitasi waktu tersebut. Sehingga, dengan adanya persetujuan yang sudah diberikan oleh pihak DPR RI maka sama saja dalam kerangka menjalankan fungsi mereka sebagai pengawasan, sejatinya sudah merupakan bagian atau representasi dari kehendak rakyat.
Selain itu, pihak DPR RI sendiri juga telah diberikan kewajiban untuk terus memberikan seluruh informasi kepada masyarakat sehingga seluruh elemen masyarakat bisa secara langsung mengakses dan memberikan masukan, seperti melalui aplikasi sistem informasi yang ada dalam laman resmi mereka.
Keputusan untuk menolak kelima perkara yang menggugat UU Cipta Kerja itu diputus secara langsung dalam sidang pengucapan putusan atau ketetapan di Gedung MK RI, Jakarta oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman. Dirinya secara tegas mengatakan bahwa pihak MK telah mengadili dan menolak permohonan dari para pemohon secara keseluruhan.
Justru, dalam konklusi yang disampaikan, pihak MK menilai bahwa permohonan yang diajukan oleh para pemohon atas kelima perkara itu sama sekali tidak beralasan menurut hukum. Dari berbagai macam pertimbangan yang sudah dilakukan, pihak mahkamah berpendapat bahwa pembentukan UU Nomor 6 tahun 2023 secara formil sama sekali tidak bertentangan dengan konstitusi atau UUD NRI 1945, sehingga pelaksanaan UU Cipta Kerja tetap memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Pihak Mahkamah Konstitusi sama sekali tidak mendapatkan adanya pelanggaran terhadap berbagai macam prinsip dalam pengesahan UU Cipta Kerja sebagaimana dituntut oleh pihak buruh. Di dalam UU Cipta Kerja itu sama sekali tidak melanggar akan prinsip kedaulatan rakyat, tidak juga melanggar jaminan akan kepastian hukum dan tidak melanggar konstitusi.
Sebaliknya, justru dalam pengesahan UU Cipta Kerja merupakan wujud dari pelaksanaan akan kedaulatan rakyat secara penuh, sekaligus juga memberikan adanya kepastian hukum dalam negara yang demokratis.
Dengan adanya perubahan pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) dilakukan memang untuk bisa melakukan harmonisasi pada peraturan perundang-undangan yang ada. Bukan hanya itu saja, namun perubahan tersebut juga mampu menjawab seluruh kebutuhan hukum yang ada pada saat ini dalam upaya untuk terus menjaga stabilitas perekonomian nasional saat ini, sehingga sangat dibutuhkan adanya payung hukum yang jelas sebagai dasar dari pengambilan kebijakan oleh Pemerintah RI.
Sama sekali tidak melanggar ketentuan apapun dalam konstitusi atau Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia tahun 1945. Seluruh proses dan tahapan pada pembentukan hingga pengesahan UU Cipta Kerja justru dinilai oleh MK sudah bagus dan tepat secara formil.
)* Penulis adalah kontributor Ruang Baca Nusantara