Moderasi Beragama Mencegah Radikalisme
Oleh : Arif Kurniawan )*
Radikalisme masih menjadi ancaman serius terhadap keberadaan NKRI. Oleh sebab itu, diperlukan moderasi beragama untuk mencegah penyebaran paham anti Pancasila tersebut.
Moderasi beragama memang perlu dihidupkan kembali, Kantor Staf Presiden (KSP) berniat akan mengawal komitmen pemerintah untuk terus menghidupkan moderasi beragama bagi masyarakat, salah satunya dengan menghidupkan toleransi antarumat beragama.
Deputi V KSP Jaleswari Pramodhawardani dalam kesempatan siaran persnya mengatakan, bahwa moderasi agama, intoleransi, kebhinekaan dan penghormatan terhadap HAM, itu bukan saja program prioritas nasional, melainkan juga bagian dari pengelolaan isu strategis yang menjadi tugas di KSP.
Jaleswari mengaku tidak mudah untuk mengimplementasikan komitmen pemerintah dalam menciptakan moderasi beragama bagi masyarakat. Namun, dengan keberhasilan beberapa pemerintah daerah dalam menekan konflik antar umat beragama, bisa menjadi acuan bagi KSP untuk mengurai sumbatan permasalahan intoleransi di lapangan.
Ia mencontohkan penyelesaian sengketa pendirian Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin di Kota Bogor selama 15 tahun. Dalam hal ini, KSP terus memberikan pendampingan atas penyelesaian konflik melalui jalur mediasi yang panjang. Ini bisa direplikasi untuk penyelesaian kasus yang sama di daerah lain.
Sementara itu, menurut Bima Arya selaku Wali Kota Bogor, menilai bahwa selama ini penyelesaian kasus intoleransi agama di daerah sering kali hanya dibebankan pada pemerintah daerah setempat.
Dirinya menekankan bahwa pemerintah pusat juga memiliki andil dan harus berani mengambil kebijakan konkret untuk menunjukkan kepeduliannya dalam upaya penyelesaian konflik. Sayangnya pendekatan pemerintah dalam menyelesaikan persoalan selama ini terkesan terlalu birokratis dan formal.
Bima Arya juga menuturkan, penyelesaian masalah HAM yang terkait dengan intoleransi dan diskriminasi terhadap umat-umat minoritas juga memerlukan kebijakan yang tegas dan menyeluruh, mulai dari hulu hingga hilir. Contohnya dalam penyelesaian GKI Yasmin, di mana orang-orang akan tahu bahwa keberpihakan bukan hanya retorika dan seremoni, melainkan juga kebijakan yang diterapkan secara konkret.
Penguatan-penguatan forum dialog antarumat beragama, juga dirasa menjadi cara ampuh dalam menghidupkan moderasi beragama bagi masyarakat. Seperti yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Kediri dengan menggandeng komunitas dan paguyuban antarumat beragama.
Wali Kota Kediri Abdullah Abu Bakar mengaku bahwa pihaknya menggandeng komunitas dan paguyuban antarumat beragama untuk mengambil kebijakan-kebijakan sesuai dengan aturan, termasuk pembuatan gereja, pura dan lainnya.
Sementara itu, Wali Kota Makassar Moh. Ramdhan Pomanto mengatakan bahwa masalah intoleransi dan diskriminasi sama dengan radio aktif, yakni cepat merambat ke semua ruang. Maka dari itu, diperlukan resiliensi dari bawah untuk menghilangkan rasisme.
Moh. Ramdhan menuturkan bahwa pihaknya melibatkan perangkat-perangkat yang ada di lapisan bawah, mulai dari RT, RW, Lurah dan Camat untuk menjadi influencer dalam membangun komunikasi kepada kelompok-kelompok berbeda. Pihaknya menyebutkan dengan istilah Makassar Merata atau Pasi Barania. Kita juga tidak bisa menutup mata bahwa persoalan intoleransi yang terjadi di Indonesia masih menjadi permasalahan yang serius.
Adanya potensi benturan, konflik dan kekerasan yang bernuansakan perbedaan primordial masih cukup tinggi baik secara luring maupun daring. Memasuki tahun 2022, sudah saatnya bangsa ini menyudahi konflik antar suku, agama apapun yang berbeda berbalut intoleransi. Dengan demikian, seluruh lapisan bangsa harus menyadari betapa moderasi agama yang berfungsi sebagai jembatan toleransi dan kerukunan antar umat beragama adalah hal yang sangat penting.
Apalagi intoleransi justru dapat merusak fitrah kemuliaan manusia dan nilai kemanusiaan yang luhur, karena tidak mampu mengendalikan diri untuk tidak mencampuri atau mengintervensi keyakinan atau pandangan orang lain. Sehingga, perlu agar masyarakat diingatkan agar kembali kepada perjanjian luhur bangsa.
Dalam permasalahan ini tentu saja pemerintah memiliki peran vital dalam moderasi agama kepada masyarakat, salah satunya dengan cara membuka pintu seluas-luasnya untuk dialog kebhinekaan antar tokoh suku dan agama, terkait peran vital para tokoh sebagai ujung tombak moderasi beragama.
Selain itu masyarakat juga harus turut serta berpartisipasi dalam moderasi beragama. Salah satunya adalah dengan cerdas dalam berperilaku dengan tidak mencampuradukkan aqidah dan ibadah dengan keyakinan masing-masing ataupun dengan ibadah agama lain. Karena sebagai orang beriman, tentu saja sangat wajib untuk menjaga dan memeliharan persatuan.
Moderasi beragama diharapkan dapat mewujudkan kekompakan masyarakat Indonesia dalam memelihara keutuhan bangsa serta soliditas sebangsa dan setanah air.
)* Penulis adalah kontributor Pertiwi Institute