Muhammadiyah: Covid-19 Bukan Takhayul dan Konspirasi
Jakarta, LSISI.ID – Di tengah melonjaknya kasus Covid-19, masih banyak masyarakat yang beranggapan bahwa virus Covid-19 tidak nyata dan sengaja dibuat oleh Cina. Namun, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Abdul Mu’ti menegaskan, Covid-19 bukan merupakan takhayul dan konspirasi.
Dia menjelaskan, secara kasat mata virus yang berasal dari Wuhan tersebut memang tidak terlihat. Karena itu, menurut dia, ada juga sebagian warga Muhammadiyah yang tidak memercayai adanya Covid-19.
Hingga suatu waktu, menurut dia, orang yang tidak percaya tersebut meninggal dunia karena terpapar Covid-19. Dari kasus ini saja, menurut dia, masyarakat sebenarnya sudah bisa mengambil pelajaran.
“Fakta-fakta ini menjadi sebuah pembelajaran bahwa Covid ini bukan takhayul, bukan konspirasi, melainkan sesuatu yang ada,” ujar Mu’ti dalam webinar bertema “Beragama di Masa Pandemi”, akhir pekan lalu.
Kasus Covid-19 memang muncul pertama kali di Wuhan, Cina. Namun, dia menegaskan, wabah Covid-19 ini bukanlah konspirasi Cina. Sebab, dengan adanya virus ini, Cina juga terkena dampaknya.
“Saya kira tidak mungkin dengan logika yang sederhana saja, satu negara yang menciptakan virus yang dengan itu merugikan negaranya sendiri,” ujarnya.
“Bahwa dia (Cina) menjual vaksin memang iya. Namun, kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh Covid ini jauh lebih besar daripada profit yang dia peroleh dari jualan vaksin itu,” kata guru besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini.
Ia pun menekankan, wabah Covid-19 ini terjadi karena sunnatullah. Ia pun mengingatkan, jika manusia tidak hidup bersih dan menjaga kesehatannya, berbagai macam penyakit bisa datang. “Maka, salah satu solusinya kan mencuci tangan, menjaga jarak, menghindari kontak fisik, dan lain-lain. Itu semuanya ikhtiar ilmiah yang itu bisa dijelaskan dan dipertanggungjawabkan secara saintis,” katanya.
Pada kesempatan itu, Mu’ti juga menyampaikan, keterbukaan dan kemudahan mengakses informasi membuat ruang publik makin hiruk-pikuk pada masa pandemi. Menurut dia, media sosial sekarang sudah menjadi ruang pertarungan baru.
“Ini yang sekarang terjadi. Tanpa kita sadari, bagaimana ketika mobilitas fisik terbatas, tapi mobilitas media sosial tidak bisa dibendung. Dan ini memberikan keuntungan dari kelompok-kelompok tertentu,” ujarnya.
Menurut dia, kelompok konservatif yang mengambil keuntungan tersebut biasanya tidak memiliki jaringan sosial atau lembaga sosial sehingga mereka pun memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan berita-berita bohong atau tuduhan kepada pemerintah.
“Sehingga kalau saya boleh jujur, kekuatan kelompok-kelompok konservatif itu kan ada pada kemampuan mereka menggunakan media sosial. Karena, sekali lagi, mereka tidak punya lembaga sosial yang memungkinkan mereka membuat gerakan yang berbasis massa,” kata Mu’ti.
Dia pun mencontohkan dalam grup Whatsapp yang diikutinya. Di dalam grup tersebut ada satu orang yang selalu mengunggah tulisan-tulisan yang menunjukkan perlawanan kepada kebijakan pemerintah.
“Itu ada satu orang setiap hari mem-posting tulisan yang isinya itu vaksinasi konspirasilah, Covid tidak ada, pemerintah ini anti-Islam, komunis, dan lain-lain. Perkara orang baca atau tidak itu tidak menjadi soal.”
Langkah tepat
Akademisi dari Universitas Muhammadiyah Kupang Dr Ahmad Atang mengatakan, keputusan pemerintah untuk memperpanjang PPKM sebagai langkah tepat untuk menyelamatkan rakyat dan negara dari ancaman pandemi Covid-19.
“Langkah pemerintah tersebut sudah tepat. Tidak harus diperdebatkan apalagi membangun logika tandingan,” kata Ahmad Atang di Kupang, Selasa terkait keputusan perpanjangan PPKM dan adanya reaksi publik.
Hanya saja, diperlukan satu aturan sebagai payung hukum bagi pemerintah pusat dan daerah dalam penanganan Covid-19 di seluruh tanah Air. “Selama ini pemerintah pusat maupun pemerintah daerah tidak satu bahasa soal penanganan Covid-19, karena antara pusat dan daerah berbeda kebijakan,” kata Ahmad Atang.
Menurut dia, reaksi publik ini dapat dipahami karena beberapa hal antara lain adanya distorsi informasi soal Covid-19 itu sendiri. Di satu sisi Covid-19 nyata adanya, namun di sisi yang lain telah berbagai berita bohong (hoaks) seolah-olah Covid-19 merupakan proyek negara.
Dalam hubungan dengan itu, maka pemerintah pusat maupun pemerintah daerah perlu satu bahasa soal penanganan Covid-19.”Penanganan Covid-19 menjadi kewenangan otonom sehingga antara daerah yang satu dengan daerah yang lain menjadi beda padahal dalam objek yang sama,” katanya.
Karena itu pemerintah mesti memiliki desain untuk menyelamatkan masyarakat, namun pemerintah juga harus memastikan bahwa bahwa masyarakat terlindungi dari kebijakan ini.
Sumber : Antara