Otonomi Khusus Papua Demi Pemerataan Pembangunan
Oleh : Rebecca Marian )*
Pemerintah disinyalir akan memperpanjang Otonomi Khusus bagi Papua. Keberlanjutan Otonomi khusus tersebut dinantikan masyarakat Papua karena mampu mewujudkan pemeraan pembangunan.
Tahun 2001 merupakan tonggak sejarah bagi wilayah Papua dan Papua Barat dimana 2 Provinsi tersebut telah mendapatkan status daerah dengan otonomi khusus (otsus) Papua. Dengan diterbitkannya Undang-undang Nomor 21/2001 dan Papua Barat melalui UU No 35/2008.
Selain bertujuan untuk mempercepat dan mengejar ketertinggalan pembangunan dari daerah-daerah lain, spirit penetapan status otsus merupakan pemberian kewenangan seluas-luasnya kepada pemerintah daerah untuk merumuskan, menyusun dan mercancang strategi pembangunan yang dibutuhkan oleh masyarakat setempat.
Keseriusan pemerintah dalam membangun Papua dan Papua Barat tampak dari diterbitkannya Inpres No 5/20017 tentang percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Kesinambungan untuk melakukan percepatan pembangunan ini masih dilakukan Presiden RI Joko Widodo melalui terbitnya Inpres No 9/2017 tentang percepatan pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua maupun Papua Barat.
Hampir dua dasawarsa ini status Papua sebagai otsus telah terimplementasi. Pemerhati Papua dan Politik Internasional Imron Cotan, menilai perlu adanya evaluasi secara bertahap terhadap pelaksanaan Otsus di Papua.
Menurutnya, harus ada perubahan mendasar soal evaluasi pada penerapan program otsus Papua. Yakni, dilakukannya peninjauan ulang atau evaluasi secara bertahap.
Imron juga mengatakan, menurut perhitungannya, sejak otsus dimulai hingga akan berakhir pada 2021, kurang lebih dana otsus Papua yang sudah disalurkan mencapai angka Rp 100 triliun.
Dana tersebut diberikan oleh pemerintah pusat kepada provinsi di Tanah Papua untuk mengembangkan empat sektor strategis, yakni pendidikan, kesehatan, infrastruktur dan ekonomi kerakyatan dari dana alokasi umum sebesar 2 persen.
Pada kesempatan berbeda, Kapolda Papua Irjen Pol Paulus Waterpauw menilai ada banyak kemajuan yang dirasakan oleh masyarakat asli Papua semenjak wilayah ujung timur Indonesia ini kembali ke pangkuan NKRI pada periode 1960-an, apalagi setelah diberlakukannya kebijakan otsus sejak tahun 2001.
Pada sisi pembangunan, hampir seluruh kabupaten/kota di Papua dan Papua Barat kini mengandalkan dana dari sumber dana otsus untuk dapat membangun daerahnya lantaran potensi pendapatan asli darah (PAD) belum bisa digarap secara maksimal.
Berdasarkan fakta tersebut, dirinya menegaskan tidak ada alasan untuk tidak meneruskan kebijakan otsus di wilayah Provinsi Papua dan Papua Barat.
Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menegaskan, Undang-undang otonomi Khusus (Otsus) Papua tetap berlaku. Hal tersebut disampaikan Mahfud MD seusai menggelar pertemuan tertutup dengan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian, Ketua MPR Bambang Soesatyo, Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat dan sejumlah anggota DPR.
Saat ini, otsus Papua hampir mendekati akhir implementasinya pada 2021, sehingga perlu mendapatkan masukan atas pelaksanaannya selama ini dan bagaimana keberlanjutannya.
Salah satu kandidat Sekretaris Daerah (Sekda) Papua, Dance Yulian Flassy, SE., M.Si, mengatakan taraf hidup masyarakat Papua, serta memberikan kesempatan pada penduduk asli Papua, sudah sepantasnya didasarkan pada nilai-nilai dasar yang mencakup perlindungan dan penghargaan terhadap etika dan moral, hak-hak dasar penduduk asli, HAM, supremasi hukum, demokrasi, pluralisme, serta persamaan kedudukan, hak dan kewajiban sebagai warga negara Indonesia.
Di sisi lain, dalam perjalanannya sampai menjelang akhir implementasi Otsus Papua, berbagai kelompok di wilayah Papua menganggap bahwa Otsus Papua belum memberikan dampak yang signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat Papua.
Mantan Sekda Tolikara tersebut mengatakan, ada anggapan bahwa kebijakan khusus dari pemerintah belum terbukti memperbaiki kondisi kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat Papua.
Namun, sebenarnya cap “kegagalan” implementasi otsus Papua bukan sepenuhnya kesalahan pemerintah pusat, karena pemerintah provinsi dan kabupaten/kota di wilayah Papua dan Papua Barat juga berkontribusi terhadap kegagalan implementasi otsus Papua.
Ia lantas menyarankan, perlu ada keberlanjutan kebijakan implementasi Otsus Papua Jilid II. Hal ini didasari pandangan dari pimpinan daerah, para akademisi, ketua kelompok masyarakat adat, agama termasuk masyarakat asli Papua sendiri mengenai Otsus Papua Jilid I yang dirasa kurang dalam implementasinya.
Artinya Grand Design Otsus Papua perlu disusun ulang agar terdapat panduan yang sama dalam mengimplementasikan otsus. Grand Design tersebut sebaiknya disosialisasikan dengan baik agar dapat mengakhiri penafsiran maupun propaganda terhadap otsus yang justru menenggelamkan agenda penting dalam kebijakan ini.
)* Penulis adalah mahasiswa Papua tinggal di Jakarta