Pakar Hukum: RKUHP Untuk Hukum Berkepribadian Indonesia
JAKARTA – Pakar Hukum Pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), DR Chairul Huda mengatakan, Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) bertujuan untuk memerdekakan bangsa Indonesia. Pasalnya, KUHP yang berlaku di Indonesia saat ini merupakan peninggalan Belanda.
“Kita sebentar lagi merayakan kemerdekaan. Tapi apakah kita benar-benar sudah merdeka? sementara hukum kita yang paling dasar, misalnya hukum pidana masih pakai hukum Belanda,” kata Chairul dalam Trijaya Hot Topic Petang dengan tema ‘Problematika RKUHP’, Kamis (11/8/2022).
Ia menambahkan, RKUHP adalah upaya anak bangsa untuk melahirkan hukum pidana KUHP yang berkepribadian Indonesia yang khas Indonesia. Untuk itu, kata dia, tidak perlu mencari padanan dengan KUHP-KUHP lain termasuk KUHP Belanda. Sebab, bisa jadi sejumlah hal tidak ditemukan, karena itu boleh menjadi khas ke Indonesiaan itu.
“Jadi pada dasarnya ini adalah pikiran-pikiran untuk bagaimana kita benar-benar mempunyai KUHP yang rasa Indonesia nya sangat kental. Tidak sekedar mengekor dari apa yang orang Eropa buat mengenai hal itu,” ujarnya.
Menurut Chairul, untuk pihak yang menolak RKUHP disebabkan karena memiliki parameter yang berbeda. Jika dari kalangan sarjana hukum yang menentang RKUHP, sebab mereka memandang hukum pidana merupakan hukum yang sekedar mempositifkan dan memformulasi apa yang sudah mapan dalam kehidupan masyarakat. Jadi dalam konteks berpikir mereka, hukum itu mengikuti perkembangan masyarakat. Oleh karena itu kemudian muncul ditambahkan living long.
“Ketika kumpul kebo katakanlah begitu. Itu semuanya bereaksi, karena apa? Karena yang dipikiran dia tentang hukum adalah apa yang sudah mapan di masyarakat. Bagi kami tim perancang KUHP, benar hukum adalah kristalisasi apa yang sudah mapan dalam masyarakat. Tapi hukum juga harus berdiri di depan, hukum harus memberi arah perkembangan masyarakat itu,” ungkapnya.
Pandangan tersebut, kata Chairul, menyebabkan perspektif berbeda dari kalangan yang menolak beberapa pasal. Alasannya karena melihat bahwa ini kan sesuatu hal yang kemudian mengganggu apa yang sudah mapan di masyarakat. Padahal dalam pikiran tim perumus KUHP, hukum harus membetuk masyarakat, yaitu masyarakat yang dicita-citakan sebagai kreasi dari hukum. Untuk itu, ada pasal-pasal ketentuan-ketentuan yang maju ke depan untuk mengarahkan masyarakat tidak sekedar mengekor pada masyarakat.
“Makanya hukum di depan dong bikin koridor-koridor mana yang boleh mana yang tak boleh. Bukan hanya sekedar mengikuti,” tutur Chairul.
Ia menegaskan, RKUHP dipersiapkan untuk setidaknya 100 tahun ke depan. Hukum tidak bisa hanya memformalkan apa yang sudah mapan dalam masyarakat. KUHP kali ini sudah terbaru.
Chairul mengingatkan, membaca ketentuan hukum di dalam KUHP tidak bisa dilakukan satu dua pasal. Ketentuan ini merupakan satu kesatuan sistem, yaitu satu pasal menentukan pasal lain. Jadi membaca hanya satu poin dari satu pasal, maka pembaca akan kesulitan memahaminya karena berkaitan dengan ketentuan yang lain.
“Banyaknya kekeliruan pemahaman itu hanya membaca teksnya yang dari pasal yang dia persoalkan. Kalau gitu enggak usah belajar di fakultas hukum, belajar aja bahasa Indonesia karena undang-undang dibuat dalam bahasa Indonesia, baca pasalnya ngerti hukumnya. Tidak bisa hukum begitu, hukum itu dipahami dalam konteks asasnya, dalam konteks sistem yang kemudian ditempatkan pasal itu dan seterusnya,” tutur Chairul.