Pakar Sebut Putusan MK Picu Kekecewaan Akumulatif dan Ketidakpercayaan Publik
Jakarta – Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait batas usia Capres-Cawapres dinilai memicu kekecewaan akumulatif yang berpotensi menimbulkan kekerasan publik yang tidak bisa dikendalikan.
Hal ini diungkapkan Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Prof. Dr. Abdul Mu’ti dalam Webinar Nasional bersama Moya Institute bertema “MK: Benteng Konstitusi?”, Selasa (17/10).
Prof. Dr. Abdul Mu’ti mengatakan MK sudah menjadi institusi yang justru merusak marwahnya sendiri.
“Yang banyak beredar dari penyataan sebagian para hakim konstitusi bahwa mereka tidak mengira akan seperti itu, dan itu seperti diambil sepihak oleh hakim tertentu di MK, ini juga bisa menjadi preseden buruk dan perpecahan dalam internal MK yang itu tidak seharusnya terjadi,” ungkapnya.
Senada, Pemerhati Isu Strategis dan Global, Prof. Imron Cotan menilai MK sudah melampaui kewenangannya karena telah mengambil alih fungsi legislasi yang dimiliki oleh DPR dan Presiden sebagai pembuat UU.
“Karena sebenarnya ketika diajukan, perkara ini sudah bisa ditolak karena sebagai penentuan persyaratan suatu jabatan itu adalah domain dari open legal policy, dan itu domain dari DPR dan Presiden,” jelasnya.
Menurutnya, publik tengah terperangkap pada formalitas hukum, ada kehilangan dimensi suatu aturan perundangan dari putusan MK.
Lebih lanjut, Prof. Imron menerangkan bahwa keputusan MK melebihi apa yang diminta, sehingga menimbulkan kerancuan dan pertanyaan besar di kalangan masyarakat.
“Karena kontrak sosial baru kita adalah anti KKN termasuk untuk kemajuan demokrasi. Itulah dasar dari berdirinya pemerintah pasca reformasi, kita sudah komitmen untuk mencegah praktik KKN sekaligus memajukan nilai-nilai demokrasi, sehingga dalam kehidupan kita bisa mempunyai dasar yang kokoh menuju Indonesia Emas 2045,” terangnya.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Badan Pengurus Setara Institute, Hendardi menyebut kebiasaan MK memutus perkara melebihi apa yang diminta atau dimohonkan, dan ini menjadikan kegaduhan di luar sidang sebagai pertimbangan dalam memutus perkara. MK tengah berubah menjadi berpedoman utama konstitusi.
“Semestinya sejak sidang pembukaan MK sudah bisa memutuskan bahwa uji materiil batas usia minimal Capres dan Cawapres bukanlah isu konstitusional dan bukan urusan MK, dan oleh karenanya sejak awal dinyatakan tidak diterima,” jelasnya.
Disisi lain, ia menilai MK tidak lagi menegakkan konstitusi tetapi mengakomodasi aspirasi politik dari aktor politik, bukannya menjadi wasit yang adil dan pengatur irama politik. Menurutnya, MK membuka diri untuk dipolitisasi dengan mengakomodasi kehendak politik, utamanya yang datang dari aktor penguasa.
Sementara itu, Direktur Eksekutif SMRC, Dr. Sirojudin Abbas menuturkan putusan MK ini menjadi kunci pembuka pintu perangkap anti reformasi.
“MK saat ini sudah mengarah pada partisipasi politik, MK menggunakan kekuatan legalnya untuk membantu proses-proses politik tertentu,” tuturnya.
Menurutnya, tidak mustahil semuanya membentuk kekecewaan karena melihat adanya nepotisme dalam panggung politik nasional.
“Dalam konteks ini magnitude gerakannya akan sulit diprediksi. Jika membesar, gerakan seperti ini akan mengganggu ketenangan Presiden Jokowi dan bahkan sangat mungkin mempercepat dimulainya periode lumpuh akibat menguatnya resistensi dan meningkatnya ketidakpercayaan publik,” pungkasnya.