Papua Harus Dilindungi dari Oknum Asing
Perdamaian di Indonesia, terutama Papua, terancam oleh intervensi asing yang ingin agar Bumi Cendrawasih dipisahkan dari NKRI. Padahal secara hukum negara dan hukum internasional, Papua adalah bagian yang sah dari Indonesia, karena bekas jajahan Belanda. Indonesia terbentang luas dari Sabang sampai Merauke dan ada banyak provinsi di negeri ini, termasuk Papua, Papua Barat, Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan Tengah. Meski Papua letaknya jauh sekali dari Jakarta, tetapi masyarakatnya sangat dilindungi oleh pemerintah. Apalagi ketika persoalan Papua disinggung oleh oknum asing, diplomat Indonesia langsung pasang badan dan membela habis-habisan.
Oknum asing yang sering mengungkit isu tentang Papua adalah Vanuatu. Negara kecil yang letaknya di Laut Selatan Pasifik sejak tahun 2016 menaikkan isu tentang hak asasi manusia (HAM) di Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Vanuatu mendesak agar Indonesia memerdekakan Papua, dan langsung didebat oleh delegasi Indonesia. Pada tahun 2018, Wakil Presiden Indonesia (saat itu) Jusuf Kalla berpidato mengenai pentingnya menghormati kedaulatan negara lain, dengan maksud menyindir Vanuatu. Jusuf Kalla menyatakan bahwa masuknya Papua ke Republik Indonesia adalah bagian dari resolusi PBB. Vanuatu sebagai anggota PBB harus menaati resolusi tersebut.
Kekurangajaran Vanuatu berlanjut lagi ketika tahun 2021, Perdana Menteri Vanuatu Bob Loughman Weibur menyatakan di forum umum bahwa masyarakat di Papua Barat menderita pelanggaran HAM. Oleh karena itu ia meminta PBB untuk datang ke Bumi Cendrawasih, agar melakukan penilaian secara independen. Papua harus dilindungi dari intervensi oknum asing seperti Vanuatu. Pasalnya mereka melakukan serangan berkali-kali di hadapan Dewan PBB. Pertama, mereka mencoreng wajah Indonesia dan menuduh ada pelanggaran HAM. Padahal tidak pernah ada pelanggaran hak asasi di Papua. Jika ada anggota kelompok separatis yang terluka, itu karena ulah mereka sendiri yang menyerang terlebih dahulu.
Saat pihak asing seperti Vanuatu mengungkit-ungkit masalah pelanggaran HAM maka jangan sampai mereka pro Kelompok Separatis dan Teroris (KST) dan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Jika KST dibela maka sama saja dengan membiarkan kriminalisasi menyebar di Papua, karena mereka berkali-kali melakukan penyerangan yang sudah memakan banyak korban jiwa. Jangan sampai penjahat malah dibela dengan alasan HAM, padahal KST sendiri yang melakukan pelanggaran HAM. Masyarakat tidak habis pikir dengan Vanuatu yang selalu mengungkit isu HAM. Apakah mereka tak pernah membaca berita tentang serangan KST yang menyebabkan kerugian materi, korban luka-luka, dan korban jiwa?
Kedua, Vanuatu tak tahu apa yang sebenarnya terjadi di Indonesia, tetapi menyimpulkan sendiri. Padahal pihak Vanuatu tidak pernah datang ke Papua untuk mengetahui keadaan masyarakat di sana. Jika saja mereka berkesempatan untuk berwisata ke Bumi Cendrawasih maka akan melihat bahwa kehidupan warganya baik-baik saja, dan tidak ada pelanggaran hak asasi seperti yang mereka tuduhkan. Tuduhan pelanggaran HAM yang dilontarkan oleh Vanuatu sangat fatal karena bisa menjelekkan nama Indonesia di mata dunia internasional. Bisa saja para turis asing membatalkan rencananya untuk melancong ke Raja Ampat, gara-gara isu keamanan. Oleh karena itu, Vanuatu harus disentil agar tak lagi usil dan mencampuri urusan Indonesia, apalagi meminta PBB untuk mengadakan inspeksi ke Papua.
Jika ditilik dari sejarahnya, maka Indonesia dan Vanuatu sama-sama negara bekas jajahan. Jika Indonesia pernah dijajah Belanda, maka Vanuatu pernah dijajah oleh Prancis dan Inggris. Akan tetapi Vanuatu belum sepenuhnya merdeka karena masih jadi bagian Britania Raya. Vanuatu berempati kepada masyarakat Papua karena sama-sama dari ras melanesia, sehingga punya kesamaan fisik dan kultur. Mereka juga sudah merasakan sengsaranya dijajah oleh bangsa lain. Akan tetapi empati ini malah dibelokkan jadi ajakan untuk memerdekakan Papua. Penyebabnya karena mereka menganggap Indonesia menjajah Papua.
Padahal menurut hukum internasional, wilayah Nusantara yang bekas jajahan Belanda otomatis jadi wilayah Indonesia. Selain itu, tidak ada penjajahan, karena masyarakat Papua sendiri yang ikut Indonesia dari hasil Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) pada 1969 silam. Logikanya jika Indonesia menjajah, maka tidak akan ada Jembatan Youtefa dan infrastruktur lain yang dibangun di Papua. Mirisnya, pernyataan Vanuatu malah didukung oleh orang Papua seperti Benny Wenda. Meski Benny tak lagi berstatus warga negara Indonesia tetapi ia tetap berasal dari Bumi Cendrawasih. Akan tetapi malah menghasut banyak pihak untuk memerdekakan Papua. Benny memang dikenal sebagai anggota OPM yang bermukim di luar negeri dan jadi provokator. Jika ia pulang kampung tentu sudah dicokok agar tidak memanaskan keadaan.
Papua wajib dilindungi dari oknum-oknum asing yang ingin agar wilayah Bumi Cendrawasih jadi merdeka. Jangan sampai ada tuduhan tentang HAM dan lain-lain, yang bisa menjelekkan nama Indonesia di mata dunia. Vanuatu dan pihak lain tidak boleh ikut campur karena urusan Papua adalah urusan internal Indonesia.
)* Penulis adalah Mahasiswa Papua tinggal di Gorontalo