Polemik Politik

Pasal Kontroversial Tidak Ada di RUU BPIP

Oleh : Abdul Razak )*

Rancangan Undang-undang Badan Pembina Ideologi Pancasila (RUU BPIP) merupakan payung hukum agar penanaman Pancasila dapat diperkuat. Publik pun meyakini tidak ada pasal kontroversial di RUU BPIP.

Produk undang-undang merupakan kebutuhan yang tidak dapat ditawar untuk memperkuat pembinaan dan sosialisasi Pancasila. Meski demikian para perumus undang-undang juga perlu mempertimbangkan secara saksama isi UU agar tidak bermasalah di kemudian hari sehingga digugat melalui Mahkamah Konstitusi (MK).

Karyono Wibowo selaku Pengamat politik dari Indonesian Public Institute (IPI), Karyono Wibowo menilai, Rancangan Undang-undang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (RUU) BPIP yang diajukan pemerintah saat ini tetap berpeluang untuk diajukan meski sangat lemah dapat dikabulkan MK.

            Setelah Karyono membaca daftar inventaris masalah dan berbagai pasal dalam RUU tersebut, menurutnya potensi untuk judicial review (peninjauan kembali untuk uji materi) tetap ada dari kelompok tertentu, tetapi standing position-nya secara hukum menurutnya lemah sehingga potensi ditolak MK sangat besar.

            Menurutnya, dari apa yang ia pahami, RUU BPIP sangat berbeda dengan RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP). Bukan hanya soal judul, melainkan juga substansi yang berbeda. RUU BPIP menurutnya bukan berusaha untuk menafsirkan Pancasila sebagaimana yang terjadi dalam RUU HIP sebelumnya.

            RUU BPIP bersifat teknis yang mengatur ke dalam, pembinaan dan nilai-nilai pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tugas tersebut diserahkan kepada sebuah badan yang bernama BPIP.

            Ia pun melihat pasal-pasal dan persoalan yang kontroversial tidak lagi tercantup dalam RUU BPIP yang baru. Misalnya terkait masalah yang dipersoalkan masyarakat seperti tidak dimasukkannya Tap MPRS Nomor 25 tahun 1966 tentang pelarangan komunisme, leninisme dan marxisme, kini sudah dimasukkan di RUU BPIP dalam bagian konsideran mengingat.

            Begitu pula pasal-pasal kontroversial terkait dengan dimasukkannya trisila dan ekasila yang disebut-sebut sebagai sendi pokok pancasila tersebut sudah tidak tertuls dalam RUU BPIP. Selain itu, pembahasan RUU HIP bersifat lebih luas, yang mana pasal-pasalnya mencakup banyak hal, sementara RUU BPIP lebih simpel dan padat.

            Kehadiran RUU yang amat fundamental dan kebutuhan bagi bangsa untuk mengokohkan dan membumikan nilai-nilai Pancasila ini jangan sampai membuka ruang bagi kelompok tertentu untuk membatalkan UU tersebut. Padahal hal ini sangatlah fundamental.

Oleh sebab itu, menurutnya untuk meminimalisasi resistensi masyarakat perlu keterbukaan publik. Dia-pun menyarankan perlu keterbukaan publik. Dia juga menyarankan agar draf RUU ini dibuka kepada publik agar masyarakat mengetahui isi dari RUU BPIP dan dapat memberikan masukan untuk RUU tersebut sekaligus menghilangkan kecurigaan yang sebetulnya tidak perlu terjadi.

Hal lain yang menurut Karyono perlu diperhatikan adalah persoalan dinamika politik di parlemen saat proses pembuatan RUU BPIP. Terlebih, RUU BPIP ini sudah mengakomodasi dan menyerap aspirasi masyarakat.

Saat ini tinggal bagaimana mengantisipasi proses politik yang ada di DPR. Timbul pertanyaan, jika RUU BPIP sudah mengakomodasi aspirasi rakyat, lantas apalagi yang perlu diperdebatkan?

Meski demikian, Karyono juga menyadari bahwa pembentukan suatu RUU agar menjadi UU merupakan sebuah proses politik sehingga dinamika dalam pembahasan RUU di parlemen tidak dapat dihindari.

Salah satu yang perlu diperhatikan adalah adanya kesan inkonsistensi fraksi di DPR atas yang mereka sampaikan di forum rapat resmi yang sering kali berbeda dalam hasil akhir. Hal ini juga dipengaruhi oleh kritik dari masyarakat yang mendorong sikap partai menjadi inkonsisten.

Kita perlu memahami bahwa penyusunan RUU BPIP juga harus ditujukan demi terwujudnya sistem pendidikan nasional, ilmu pengetahuan dan teknologi pengembangan riset dan inovasi nasional sebagai landasan penyusunan pelaksanaan pembangunan nasional di segala bidang, termasuk pusat dan daerah yang berpedoman pada nilai-nilai Pancasila.

Jamal Wiwoho yang merupakan Rektor UNS, menilai, RUU BPIP diharapkan bukan mengatur penafsiran nilai dasar filsafat Pancasila dalam norma UU. Sebab, menurut dia Pancasila adalah sumber segala sumber hukum yang tidak bisa diletakkan ke dalam UU, melainkan ada di UUD 45.

Ia juga menilai, bahwa RUU ini juga harus ditujukan bagi terwujudnya sistem politik, demokrasi, hukum nasional dan politik luar negeri yang bebas aktif dengan berlandaskan pada nilai-nilai Pancasila

Oleh karena itu sistem hukum berbasis Pancasila sudah semestinya dikukuhkan agar ideologi ini tidak terpengaruh dari konflik pemikiran liberalisme dan marxisme serta pengaruh kolonialisme yang antinasionalisme.

)* Penulis adalah  kontributor Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia

Show More

Related Articles

Back to top button

Adblock Detected

Kami juga tidak suka iklan, kami hanya menampilkan iklan yang tidak menggangu. Terimakasih