Pasal Penghinaan Kepala Negara Menjaga Martabat Simbol Negara
Oleh : Muhammad Yasin )*
Pasal penghinaan kepala negara belakangan kembali viral karena ada pihak yang menuduh bahwa aturan ini mencederai demokrasi. Padahal pasal ini dibuat demi menjaga martabat da marwah Presiden sebagai simbol negara. Jika kita adalah WNI yang baik tentu tidak terima jika kepala negara dihina oleh orang lain.
Sejak tahun 2014, Presiden Jokowi menjadi RI-1, tetapi sayangnya tak semua orang bersikap fair. Dalam artian, masih ada sisa-sisa dendam antara pendukung masing-masing paslon, padahal pilpres sudah lama berlalu. Pendukung yang jadi oposisi selalu bersikap sinis dan bersebrangan dengan tiap peraturan pemerintah.
Bahkan dari mereka ada yang nekat membuat meme, lelucon, dan beragam konten mengenai Presiden Jokowi. Mungkin bagi mereka ini unik tetapi bagaimana bisa membuat Presiden dijadikan olok-olok? Tidak lucu sama sekali. Malah memalukan karena memperlihatkan bahwa orang Indonesia tidak kompak dalam mendukung presidennya.
Oleh karena itu pemerintah memunculkan lagi pasal penghinaan kepala negara. Pasal ini dibuat tahun 2019 dan sempat ‘menghilang’, tetapi sekarang ada lagi dan langsung jadi viral. Karena ada pro kontra mengenai aturan ini.
Dalam pasal 134 RUU KUHP disebutkan bahwa penghinaan dengan sengaja terhadap presiden atau wakil presiden akan diancam penjara paling lama 6 tahun dan pidana denda paling banyak 4.500 rupiah. Pasal ini merupakan revisi dari aturan yang dibuat tahun 2019 lalu.
Masyarakat langsung ramai karena mengira Presiden akan bertindak seperti masa orde baru yang anti kritik. Padahal bukan begitu. Pasal penghinaan presiden lebih ke upaya menjaga kehormatan Presiden. Karena beliau adalah kepala negara, jadi wajar jika dijunjung tinggi oleh rakyat dan tak boleh dijadikan bahan lelucon.
Bayangkan jika ada meme atau konten lucu yang memplesetkan gambar atau ucapan presiden Jokowi, dan dibaca oleh orang asing. Mereka akan merasa aneh, karena melihat netizen Indonesia begitu ganasnya, sampai-sampai presidennya sendiri ‘diserang’ di dunia maya.
Akibatnya, nama Indonesia akan jadi buruk di mata dunia internasional. Karena dianggap tidak memiliki attitude dalam berselancar di internet dan seenaknya sendiri di dunia maya. Jika sudah begini, maka akan berpengaruh pada investor asing, karena mereka sudah begidik duluan. Sungguh menyedihkan karena bisa berefek domino negatif pada bidang ekonomi.
Padahal pasal penghinaan kepala negara tidak membungkam kritik masyarakat sama sekali. Karena Presiden Jokowi tidak anti kritikan. Contohnya saat ramai tentang UU Cipta Kerja beberapa bulan lalu, masyarakat yang memprotes dipersilakan untuk langsung melapor ke Mahkamah Konstitusi.
Ade Irfan Pulungan, tenaga ahli Kantor Staf Presiden, menyatakan bahwa pasal penghinaan kepala negara dalam draft RKUHP tidak akan membungkam kritik masyarakat. Publik masih bisa memberi masukan dan kritik, baik secara langsung maupun via media sosial. Namun jika sudah termasuk hoaks dan konten yang memprovokasi, tentu akan langsung ditindak (oleh polisi siber).
Yang ditekankan dalam pasal ini adalah jangan sampai ada hoaks dan konten provokasi, atau black campaign, yang terbuat dari foto maupun berita tentang Presiden yang diplesetkan. Jadi masyarakat yang membaca atau melihat fotonya akan mendapatkan disinformasi dan jadinya ikut antipati terhadap presiden. Bukankah seperti ini pembunuhan karakter? Oleh karena itu, butuh pasal untuk mengendalikannya.
Semoga pasal penghinaan presiden lekas diresmikan, agar tidak ada lagi WNI yang berani menyinggung Presiden, baik via berita palsu maupun via foto, meme, dll. Presiden adalah simbol negara sehingga wajib dijunjung tinggi. Saat ada pasal penghinan presiden, maka bukan berarti otoriter, karena beliau masih menerima kritik dengan tangan terbuka.
)* Penulis adalah kontributor Forum Literasi Pekalongan