Pasal Pidana Mati KUHP Baru Jalan Tengah Akomodasi Kepentingan Korban dan Pelaku
Jakarta — Adanya Pasal Pidana Mati dalam KUHP baru, menjadi sebuah jalan tengah yang mampu mengakomodasi kepentingan pihak korban dan pelaku kejahatan.
Anggota Tim Perumus Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pemerintah, Yenti Gamasih menyatakan bahwa seharusnya masyarakat juga memikirkan bagaimana berada di posisi korban tindak pelaku kejahatan dan tidak sekedar memikirkan pelakunya saja.
Hal tersebut diungkapkannya sebagai bentuk keheranan akan masih adanya polemik dan kritik terkait Pasal Pidana Mati dalam KUHP baru.
“Kalau berbicara begitu, kita kadang-kadang khawatir ya, khawatir lebih banyak pespektif melihat ‘pelaku jangan diini-inikan, pelaku jangan dini-inikan’, tidak pernah memikirkan bagaimana perasaan korban, bagaimana korban itu,” kata Yenti.
Namun di sisi lain, dirinya juga sama sekali tidak sependapat dengan orang yang menyatakan bahwa hanya Tuhan yang bisa mencabut nyawa manusia, dalam konteks dirinya adalah pelaku kejahatan terpidana hukuman mati.
Bukan tanpa alasan, pasalnya memang siapapun sejatinya sama sekali tidak boleh membunuh orang lain.
“Tadi disampaikan, yang boleh mencabut nyawa manusia hanya Tuhan, ketika dia melajukan pembunuhan dengan sangat keji, memang dia Tuhan boleh membunuh warga negara kita dengan sangat keji?” kata Yenti.
Maka dari itu, adanya Pasal Pidana Mati dalam KUHP baru yang dengan jelas mengatur perkara ini merupakan sebuah jalan tengah yang mampu mengakomodasi kepentingan pihak korban dan juga pihak pelaku.
Karena tidak bisa dipungkiri, bahwa pidana mati sendiri sangat diperlukan untuk mampu mencegah berulangnya kejahatan yang dilakukan oleh seseorang.
Jalan tengah yang dimaksud dalam ketentuan Pasal Pidana Mati KUHP baru adalah karena ada modifikasi, yakni masa percobaan selama 10 tahun bagi terpidana hukuman mati.
Sehingga terpidana tidak langsung dieksekusi, melainkan mash diberikan kesempatan terlebih dahulu dan dilakukan penilaian terhadap perilakunya, yang mana kemungkinan masih mampu merubah hukumannya.
Apabila dalam 10 tahun percobaan, sang terpidana dinilai baik, maka bukan tidak mungkin hukumannya akan berubah menjadi pidana seumur hidup.
“Dalam 10 tahun dinilai, kalau bagus dipindah ke seumur hidup atau 20 tahun, jadi ada tenggat waktu 10 tahun,” ujar Yenti.
Terlebih, sejauh ini memang pidana mati masih diberlakukan di banyak negara mulai dari Amerika Serikat, hingga negara-negara di Asia Tenggara dan negara-negara Islam.
Senada, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI), Topo Santoso menegaskan bahwa memang banyak pasal dalam KUHP baru menjadi jalan tengah.
Dalam Pasal 100 KUHP tentang pidana mati, menurutnya menjadi jalan tengah antara mereka yang menginginkan adanya penerapan pidana mati, dan mereka yang menginginkan supaya pidana mati dihapuskan karena tidak sesuai dengan HAM.
“Misalnya, Pasal 100 KUHP terkait dengan pidana mati. Pasal ini sesungguhnya menengahi mereka yang menginginkan penerapan pidana mati secara zakelijk, sementara di sisi lain ada yang menginginkan agar pidana mati tidak perlu diterapkan,” kata Prof. Dr. Topo Santoso.