Pelaku Rasis dan Provokator Kerusuhan Pantas Dibui
Oleh : Sabby Kosay )*
Pelaku rasisme dan provokator kerusuhan harus bersiap untuk mempertanggungajawabkan segala tindakannya. Selain menimbulkan gejolak masyarakat dan menimbulkan kebencian, aksi tersebut dapat meningkatkan sentimen SARA yang dapat menimbulkan disnitegrasi bangsa.
Akhir-akhir ini kita sering mendengar berita mengenai tindakan rasis. Yang mana mampu menimbulkan dampak yang begitu mengejutkan. Tindakan spontan akibat rasisme yang berujung pengrusakan di Jayapura Pekan lalu ini tampaknya juga banyak menuai kecaman. Namun, apakah itu sebenarnya rasisme, serta dampak yang ditimbulkannya?
Berdasarkan penelitian, hasilnya menunjukkan bahwa terdapat peningkatan masalah kesehatan mental yang jauh lebih tinggi khususnya di kalangan minoritas. Yang mana mengalami tindakan rasisme secara terus menerus serta perlakuan diskriminasi rasial, jika dibandingkan dengan Kaum minoritas lainnya yang tidak mengalami tindakan.
Beberapa studi menunjukkan jika rasisme ini akan menyebabkan seseorang merasa ketakutan di tempat umum. Karena mereka merasa dirinya terancam, tidak aman karena berasal dari kaum minoritas. Serta menjadi target antipati kaum mayoritas. Ketakutan di tempat umum ini lama-kelamaan akan berdampak besar terhadap kondisi mental penerima tindakan rasis.
Studi baru berkenaan masalah ini ditemukan jika terdapat hubungan antara rasisme dengan penurunan kesehatan mental juga fisik. Coba bayangkan jika hal ini terjadi kepada kita, tentunya kita tidak akan mau bukan?
Secara terminologi, Rasisme merupakan sistem kepercayaan atau doktrin. Yang mana menyatakan jika perbedaan secara biologis yang umumnya berada pada ras manusia, menentukan perangkuhan budaya maupun individu. Atau pemahaman akan ras tertentu yang lebih besar akan mengatur ras lainnya yang minoritas.
Berdasarkan insiden yang terjadi di Surabaya pekan lalu, bisa dilihat jika para pelaku tersulut amarah sehingga menyebabkan situasi keamanan yang kacau. Lalu, apakah benar jika kita dididik untuk melakukan rasisme kepada pihak lain!
Kabar baiknya para pelaku tindakan rasisme ini telah banyak yang ditangkap. Penangkapan pertama kali ditandai oleh Tris Susanti yang ia adalah seorang koordinator lapangan (Korlap) aksi saat insiden di Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya terjadi. Penahanan tersangka ini dilakukan setelah pemeriksaan kurang lebih selama 12 jam. TS ini akan dijerat oleh pasal berlapis tentang ujaran kebencian dan berita bohong.
TS dianggap melanggar 6 pasal dalam 3 peraturan perundangan sekaligus. Yang mana Ketiga peraturan perundangan itu ialah Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), kedua Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) serta yang ketiga ialah UU Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Selain TS juga telah ditemukan nama lain dengan inisial SA.
Ia dijerat dengan pasal KUHP ada pasal 106 dan 110, yang berkenaan dengan makar. Kaitannya dengan keamanan negara. Nama-nama lain terus mencuat seiring ditemukannya bukti baru terkait tindakan rasisme ini. Termasuk nama Veronika Koman yang kini tengah diburu interpol karena statusnya sebagai tersangka.
Tindak pidana rasis ini bisa dikenakan hukuman atas dasar Undang-undang pencegahan diskriminasi berdasarkan etnis dan ras. Implikasinya, kedepan tidak akan ada lagi kejadian serupa yang membuat jalinan kebangsaan rusak. Ini adalah satu kode keras bagi kepolisian untuk segera menyidik serta menangkap pelaku rasisme secepatnya.
Meski tindakan rasis ini dinilai bukanlah hal yang baru, namun seharusnya dihindari. Mengingat akibat yang ditimbulkan bisa sangat fatal. Selain itu, kesadaran akan toleransi berkenaan keragaman kebangsaan ini haruslah terus dipupuk. Karena memang Nusantara adalah negara yang terkenal dengan multikulturnya. Tak hanya sekarang, namun sudah sejak masa nenek moyang terdahulu kita.
Tindakan rasisme ini memang seyogyanya ditekan habis dari seluruh sistem. Karena banyak sekali kasus rasisme ini terdapat pada gerakan politik. Hal ini dilakukan guna menonjolkan rasa kepemilikan yang tinggi terhadap ras tertentu. Akibatnya, dapat mengucilkan atau lebih parah akan meniadakan ras lainnya. Tentu saja hal ini sangat tak diperbolehkan?
Delik rasisme ini juga sering terjadi dalam gerakan bernuansa keagamaan dan sosial. Sikap fanatisme terhadap suatu agama yang berlebihan ini bisa membuat paham lain menjadi suatu masalah. Hal ini ibarat bom waktu yang senantiasa bisa meletus kapan saja. Dan akibat yang ditimbulkan sudah pasti, rusaknya rasa persatuan dan kesatuan yang telah lama dirajut.
Bukankah sikap negatif seperti ini wajib dihilangkan agar persatuan menjadi lebih erat. Serta mampu mewujudkan hubungan antar warga negara lebih kokoh lagi. Karena hakikatnya manusia diciptakan tidak sama. Yang mana perbedaan itu seharusnya digunakan untuk melengkapi kehidupan satu dengan lainnya. Tindakan rasisme apapun itu harus ditindak tegas karena bisa mengesampingkan keberadaan manusia lain, yang tentunya juga memiliki hak yang sama dalam hal beragama juga lingkungan sosial.
)* Penulis adalah mahasiswa Papua tinggal di Yogyakarta