Polemik Politik

Pelanggaran HAM Oleh Organisasi Papua Merdeka

Oleh : Herdiansyah Rahman )*

Setiap tahun, masyarakat internasional di tanggal 10 Desember, selalu memperingati hari hak asasi manusia (HAM) internasional. Peringatan dimaksudkan untuk mengingatkan bahwa pelanggaran HAM adalah kejahatan kemanusiaan yang menjadi musuh masyarakat global, sehingga jelas pelakunya baik individu, kelompok atau organisasi bahkan negara akan dibenci dan dikucilkan oleh masyarakat global.

Peringatan HAM internasional juga bertujuan untuk selalu mengingatkan, mengontemplasi dan merefleksi agar kejadian-kejadian pelanggaran HAM tidak terulang kembali, atau minimal semakin dapat dikurangi.

Di masyarakat internasional, perang dan konflik berkepanjangan di Suriah, Iraq, Yaman, Nigeria, Pakistan, Afghanistan dan Palestina jelas sarat diwarnai oleh pelanggaran HAM. Apa yang dilakukan tentara-tentara Israel yang membombardir jalur Gaza dengan alasan menarget para pejuang Hamas, namun roket-roket dan rudal-rudal mereka yang menghantam perumahan sipil bahkan membunuh anak, perempuan, dan lansia jelas merupakan pelanggaran HAM serius bahkan mengarah ke genocida. Hal yang sama juga apa yang dilakukan tentara Myanmar terhadap para pengungsi Rohingya jelas juga merupakan pelanggaran HAM bahkan pengungsian besar-besaran jelas mengindikasikan pelanggaran HAM dimaksud. Jangan ditanya lagi pelanggaran HAM berat yang dilakukan ISIS, Boko Haram, Al Qaeda dan sejumlah kelompok separatis di berbagai belahan bumi lainnya, bahkan tidak sedikit juga banyak yang menilai AS juga layak memperoleh tinta merah dalam pelanggaran HAM yang terjadi dimana-mana dalam kapasitasnya sebagai “polisi dunia”.

Di Indonesia, pelanggaran HAM banyak dilakukan oleh kelompok separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM) seperti beberapa contoh aktualnya antara lain pada tangga; 1 Desember 2018 di Jalan Trans Papua, Kabupaten Nduga, Papua, terjadi salah satu peristiwa paling mengerikan bagi warga sipil dalam sejarah kemerdekaan Indonesia, yaitu pembunuhan terhadap sebanyak 31 orang pekerja PT Istaka Karya yang dilakukan Kelompok Kriminal Sipil Bersenjata (KKSB) pimpinan Egianus Kogoya, dilatarbelakangi adanya salah satu pekerja tersebut yang mengambil foto perayaan Hari Ulang Tahun Tentara Pembebasan Nasional/Organisasi Papua Merdeka (HUT TPN OPM) yang sedang dilakukan KKSB pimpinan Egianus Kogoya tersebut. Peristiwa tersebut amat mengiris nadi kemanusiaan kita karena dilakukan oleh sesama masyarakat sipil. Hanya saja, para pembunuh tersebut telah terindoktrinasi ideologi Papua Merdeka.

Pasca kejadian mengerikan tersebut, KKSB berulangkali melakukan penyerangan baik terhadap masyarakat sipil maupun TNI/Polri, diantaranya yaitu pada tanggal 12 Agustus 2019 di wilayah Kampung Mudidok, Kabupaten Puncak Jaya, Papua, ditemukan jenazah Briptu Heidar yang merupakan anggota Satgas Gakkum Polda Papua wilayah Ilaga, yang sebelumnya diculik KKSB ketika sedang melaksanakan tugas penyelidikan di wilayah Kabupaten Puncak.

Selanjutnya, pada tanggal 16 Agustus 2019 di sekitar Km 39 Jalan Trans Wamena-Habema, Kabupaten Jayawijaya, Papua, terjadi penembakan terhadap konvoi kendaraan pengangkut logistik milik Satgas Pengamanan Daerah Rawan dari Yonif 751/VJS oleh KKSB pimpinan Egianus Kogoya, mengakibatkan satu orang prajurit TNI meninggal dunia yaitu Pratu Sirwandi M Sahidillah.

Kemudian, pada tanggal 25 Oktober 2019 di Distrik Hitadipa, Kabupaten Intan Jaya, Papua, terjadi penyerangan terhadap masyarakat sipil oleh KKSB pimpinan Lekagak Talenggen, mengakibatkan sebanyak 3 warga sipil berprofesi sebagai tukang ojek meninggal dunia seperti Rizal, Herianto dan La Soni.

Belum lagi pelanggaran HAM yang terjadi saat kerusuhan Wamena dan beberapa tempat di Papua, termasuk pengusiran, perampasan dan pemerkosaan terhadap Suku Buton, Bugis, Makasar, Sumatera Barat, Jawa dan lain-lain yang selama ini sudah menetap dan bekerja bertahun-tahun untuk memajukan Papua, termasuk kematian salah seorang dokter asal Jawa yang dibunuh oleh massa yang beringas saat kerusuhan di Wamena. Banyak kalangan menilai bahwa aktor utama pembuat kerusuhan di Wamena ini adalah simpatisan-simpatisan OPM, yang sebelumnya mereka memanfaatkan kasus rasial yang terjadi di Surabaya tanggal 15 Agustus 2019, walaupun kasus rasial tersebut diawali dengan sikap segelintir aktifis dan pemuda asal Papua yang membuang bendera Merah Putih ke got atau selokan air di asrama mereka di Jalan Kalasan, Surabaya, Jawa Timur. Jelas sebuah tindakan yang tidak nasionalis, karena membuang bendera negara adalah penghianatan serius (seriously treason) terhadap kedaulatan negara.

Jadi, sekali lagi, memperingati hari HAM internasional yang jatuh tanggal 10 Desember 2019, rasanya publik internasional terutama di Inggris, Jerman, Belanda, Australia, Selandia Baru dan Pasifik Selatan, termasuk masyarakat Indonesia mulai memahami bahwa OPM adalah pelaku pelanggaran HAM yang sangat berat di Papua, yang selama ini selalu memutar balikkan fakta dengan terus menerus menempatkan OPM sebagai korban “playing victims”, padahal sebenarnya mereka adalah aktor utama dibalik gonjang-ganjing keamanan yang selama ini terjadi di Papua.

*) Penulis adalah pemerhati masalah Papua.

Show More

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button

Adblock Detected

Kami juga tidak suka iklan, kami hanya menampilkan iklan yang tidak menggangu. Terimakasih