Polemik Politik

Mengapresiasi Keputusan MK Larang Kampanye di Tempat Ibadah

Oleh : Dina Kahyang Putri )*

Apresiasi sangat tinggi patut diberikan kepada bagaimana keputusan resmi yang telah dibuat oleh pihak Mahkamah Konstitusi (MK) dalam melarang kegiatan kampanye di tempat ibadah. Hal tersebut sama saja juga telah berupaya untuk menjaga kesucian dan kesakralan tempat ibadah sehingga tidak dicapur dengan kegiatan berbau politik praktis yang malah berpotensi untuk menjadikan polarisasi di masyarakat dengan isu politik identitas.

Salah satu aktivitas yang biasanya dilakukan oleh pihak yang maju ke dalam kontestasi politik adalah tentunya berkampanye. Hal tersebut bertujuan supaya partai ataupun tokoh yang maju ke dalam kontestasi Pemilihan Umum (Pemilu) itu mampu semakin dikenal dengan luas oleh publik sehingga mendulang banyak suara.

Namun, tentunya dalam melakukan kampanye sendiri tidak boleh sembarangan dan terdapat beberapa aturan yang sama sekali hendaknya jangan sampai dilanggar. Mulai dari kapan waktu melakukan kampanye tersebut, hingga di mana tempat melakukan kegiatan kampanye itu.

Seluruhnya harus bisa diperhatikan dengan jauh lebih cermat oleh pihak yang maju ke dalam kontestasi politik Pemilu di Indonesia agar tidak menabrak aturan yang telah ada dan justru tidak mencoreng nama baik penerapan asas demokrasi di Tanah Air sendiri. Pasalnya apabila beberapa pelanggaran masih saja dilakukan, maka jelas akan sangat mencoreng nama baik demokrasi di Indonesia.

Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi (MK) kemudian dengan sangat tegas telah melakukan pelarangan mengenai tempat ibadah yang dijadikan untuk ajang berkampanye. Pelarangan dari MK ini juga telah sesuai dengan adanya permohonan sebelumnya yang dikemukakan oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Derah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, Yenny Ong.

Sebelumnya memang terdapat sebuah gugatan dari yang bersangkutan terkait dengan Pasal 280 ayat 1 huruf h dalam Undang-Undang (UU) Pemilu, yang mana berbunyi: “Pelaksana, peserta dan tim kampanye Pemilu dilarang menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan.”

Akan tetapi dalam penjelasannya berbunyi: “Fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat digunakan jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye pemilu atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan”.

Tentunya atas adanya permohonan itu, maka pihak Mahkamah Konstitusi mengabulkan dengan melarang dengan sangat tegas adanya aktivitas kampanye di tampat ibadah. Ketua MK, Anwar Usman mengungkapkan bahwa dirinya telah mengabulkan permohonan untuk sebagian pada gugatan tersebut.

Dalam pengabulannya, pihak MK melakukan penghapusan pada Penjelasan Pasal 280 ayat 1 huruf h UU Pemilu. Kemudian untuk Pasal 280 ayat 1 huruf h UU Pemilu sendiri dilakukan revisi, yang mana MK menyatakan bahwa dalam Pasal 280 ayat 1 huruf h UU Pemilu tersebut dibuah menjadi: “Pelaksana, peserta dan tim kampanye Pemilu dilarang menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan, kecuali untuk fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu.”

Bukan tanpa alasan mengapa pada akhirnya pihak Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan tersebut dan kini dengan sangat tegas melakukan pelarangan kegiatan kampanye di tempat ibadah. Pasalnya, tentu dipertimbangkan bahwa dengan menggunakan tempat ibadah sebagai ajang berkampanye akan sangat berpotensi untuk menimbulkan emosi dan juga kontroversi serta juga dapat merusak nilai-nilai agama.

Terlebih, menimbang pula bagaimana kondisi masyarakat di Indonesia yang bisa dikatakan cukup mudah untuk terprovokasi dan cepat bereaksi pada berbagai isu yang berkaitan dengan politik identitas, termasuk isu agama yang menjadi cukup sensitif bagi masyarakat sendiri.

Terdapat satu hal yang penting untuk dipahami dalam konteks ini, bahwa pembatasan penggunaan tempat ibadah untuk aktivitas kampanye tentunya tidak lantas berarti kemudian pihak MK melakukan pemisahan antara agama dengan institusi negara, namun justru lebih kepada bagaimana proses pembedaan fungsi antara institusi keagamaan dengan ranah di luar agama dalam masyarakat, utamanya untuk masalah yang memang sangat berkaitan dengan politik praktik sangat tinggi.

Sementara itu, Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Persatuan Indonesia (DPP Perindo) Bidang Keagamaan, Abdul Khaliq Ahmad memberikan apresiasi yang sangat tinggi pada bagaimana putusan dari pihak MK tentang adanya larangan untuk berkampanye di tempat ibadah.

Menurutnya, bahwa adanya putusan dari Mahkamah Konstitusi ini merupakan bentuk penghormatan tempat ibadah agar bisa terus tetap netral dari segala kegiatan yang berbau politik praktis di masyarakat, sehingga murni tempat ibadah hanya digunakan untuk aktivitas yang berkaitan dengan keagamaan saja. Pasalnya memang tempat ibadah sendiri harus terus dijaga kesuciannya dan netralitasnya dari berbagai kegiatan politik praktis yang sangat berpotensi untuk menimbulkan polarisasi dan merusak harmoni sosial.

Untuk itu, dengan saat ini sudah disahkannya keputusan MK yang secara resmi telah melarang kegiatan berkampanye di tempat ibadah, maka hal tersebut patut untuk diberikan apresiasi yang sangat tinggi karena sama saja terus berupaya untuk menjaga kesucian dan marwah dari tempat ibadah tersebut sendiri sehingga tidak dicampur dengan urusan berbau politik praktis.

)* Penulis adalah kontributor Persada Institute

Show More

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button

Adblock Detected

Kami juga tidak suka iklan, kami hanya menampilkan iklan yang tidak menggangu. Terimakasih