Pemerintah Mendukung Aspirasi Masyarakat Papua
Oleh : Yeremia Kagoya )*
Dalam upaya mengakomodasi aspirasi masyarakat Propinsi Papua dan Papua Barat, Presiden Joko Widodo telah menugaskan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, Kapolri Tito Karnavian dan Kepala BIN Budi Gunawan untuk membuka seluruh ruang dialog di Papua. Pertemuan ini diharapkan menjadi gerbang baru dalam menyelesaikan persoalan Papua.
Pemerintah siap mendengarkan semua masukan dan tuntutan masyarakat Papua, kecuali menyangkut referendum. Pemerintah mengakui arti penting dialog yang konstruktif. Dialog memang dibutuhkan untuk bahan melakukan akselerasi pembangunan di Bumi Cenderawasih.
Dialog tersebut telah terlaksana dengan baik di Istana negara, dimana Presiden Jokowi dan 61 tokoh Papua dan Papua Barat saling bertatap muka.
Ke 61 tokoh Papua tersebut juga menyampaikan aspirasinya kepada Jokowi secara langsung, salah satu yang menarik adalah, permintaan mereka agar Jokowi bangun Istana Negara di Papua.
Jokowi pun mengiyakan usulan tersebut dan akan memulai pembangunan Istana negara di Papua pada tahun depan.
Mantan Ketua MK Mahfud MD mengatakan, dalam upaya meredakan konflik di Papua dan Papua Barat, dirinya meminta agar pemerintah mengutamakan dialog konstruktif dan persuasif, karena aksi massa di dua provinsi tersebut ditakutkan akan mengganggu stabilitas nasional.
Upaya dialog tersebut merupakan salah satu hal yang patut di apresiasi, pelaksanaan dialog secara konstruktif tentu akan menjaga NKRI dari keterpecahbelahan yang diinginkan oleh kelompok separatis.
Sementara itu, kebijakan pembatasan WNA, termasuk akses Internet tentu tak akan diberlakukan jika keadaan di Papua dan Papua Barat sudah benar – benar kondusif dan aman dari provokasi di sosial media, jika kondisi keamanan dan ketertiban telah semakin stabil berdasarkan analisis potensi gangguan keamanan.
Kita tentu tahu bahwa Pembatasan akses internet di Papua dan Papua Barat adalah sesuatu yang terpaksa dilakukan karena penyebaran hoaks di wilayah timur Indonesia tersebut kala itu masih tinggi.
Hoaks yang dimaksudkan tidak hanya berisi disinformasi, tetapi juga hasutan dan upaya adu domba antar masyarakat yang dapat membahayakan persatuan dan kesatuan Bangsa Indonesia. Sehingga jika dibiarkan maka kerusuhan akan mungkin terjadi kembali.
Selain itu, Pemerintah di negara manapun tentu akan sulit untuk mencegah tersebarnya informasi hoax, mengingat sangat mudahnya warganet membuat akun anonim untuk menyebarkan berbagai fitnah dan pemberitaan yang berlebihan. Bayangkan saja jika jumlah polisi Cyber ada 100 orang, maka bisa jadi 10 orang penyebar hoax memiliki 10 sampai 20 akun anonim yang bisa saja menyebarkan hoax dan sebaran tersebut sudah terlanjur ditelan mentah – mentah oleh warganet, hal ini tentu berbahaya. Penyebaran berita hoax tentu berbahaya bagi NKRI.
Pasca kerusuhan di Papua, kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat akan segera merehabilitasi 10 kantor pemerintah yang rusak akibat kerusuhan di Jayapura pada 29 Agustus lalu. Menurut Menteri Basuki Hadimulyo, perlu sekitar Rp 100 miliar untuk keperluan rehabilitasi kantor – kantor tersebut.
Pemblokiran sendiri diharapakan dapat mempercepat proses pemulihan situasi keamanan dan ketertiban d Papua dan sekitarnya. Biasanya, pembatasan akses internet oleh Kominfo dilakukan untuk mencegah peredaran hoaks atau berita palsu terkait kerusuhan yang terjadi.
Penegakan hukum terkait kasus penyebaran hoaks, hasutan, diskriminasi rasial, persekusi dan provokasi dalam peristiwa pengepungan massa terhadap Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya pada Agustus lalu, juga tetap berjalan. Aparat Kepolisian juga telah menetapkan tersangka dan melakukan penahanan terhadap beberapa tersangka dalam kasus tersebut.
Kala itu Kominfo berhasil mengidentifikasi 2 berita hoax, yakni hoax foto warga Papua yang tewas dipukul aparat di Surabaya dan hoax yang menyebutkan bahwa Polres Surabaya menculik 2 orang pengantar makanan untuk mahasiswa Papua.
Hoax tersebut apabila tidak dibendung, tentu akan semakin menambah amarah masyarakat Papua, sehingga aksi demonstrasi bisa saja berlanjut dan semakin rusuh.
Pemerintah Indonesia dibawah kepemimpinan Jokowi juga telah melakukan berbagai kegiatan serta program hampir di semua aspek, walaupun demikian ketika isu rasisme bergulir di pertengahan Agustus kemudian muncul kembali pihak – pihak yang menginginkan referendum atau Papua Merdeka seolah – olah semua program pemerintah seperti terlupakan.
Tentunya pemerintah memiliki kekuatan dan kemampuan untuk dapat menyelesaikan permasalahan yang ada di Papua.
)* Penulis adalah mahasiwa Papua tinggal di Jakarta