Pemerintah Menjaga Iklim Demokrasi dan Tidak Anti Kritik
Oleh : Aldia Putra )*
Pemerintah terus optimal dalam menjaga iklim demokrasi dan tidak anti kritik. Namun demikian, setiap pihak diminta untuk menjauhi ujaran kebencian dan fitnah. Kritik hendaknya dilakukan secara santun, berbasis data dan memberikan solusi konstruktif terhadap permasalahan.
Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko, meminta masyarakat untuk tidak hanya memberikan kritik kepada pemerintah tentang penanganan krisis Covid-19. Dirinya menghimbau kepada masyarakat untuk memberikan kritik disertai dengan solusi untuk membantu keluar dari Pandemi Covid-19.
Dalam kesempatan penuturan keterangan pers, Moeldoko menuturkan, bahwa pemerintah tidak antikritik, namun dirinya meminta kepada masyarakat untuk memberikan kritik dengan solusi. Ia juga meminta bantuan untuk menyelamatkan masyarakat, dan bergerak bersama untuk pemulihan bersama.
Mantan Panglima TNI tersebut juga menjelaskan terkait keputusan Presiden dalam menerapkan PPKM. Dirinya menegaskan bahwa cara tersebut diambil untuk menekan mobilitas masyarakat demi memutus rantai penularan virus Corona. Moeldoko menuturkan, PPKM merupakan salah satu skenario pemerintah untuk menekan penyebaran Virus. Mobilitas orang tanpa gejala (OTG) dapat dikendalikan.
Ia memastikan bahwa selama PPKM, pemerintah telah mengupayakan berbagai cara mulai dari realokasi anggaran, penyediaan tambahan tempat tidur bagi pasien, pengadaan oksigen, percepatan vaksin, hingga tindakan tegas yang diberikan pada para pelanggar PPKM dan penimbun obat-obatan serta oksigen.
Kendati demikian, Moeldoko mengakui bahwa penerapan PPKM bukanlah tanpa tantangan. Berdasarkan pantauan dari pemerintah, tingkat mobilitas masyarakat pada masa PPKM darurat baru minus 30%. Padahal indikator keberhasilan PPKM adalah mobilitas yang minus 50%. Oleh karenanya, Moeldoko mendorong seluruh masyarakat untuk patuh aturan saat PPKM berlaku. Kritikan terhadap berbagai kebijakan yang diambil tentu diperlukan agar tercipta kontrol sosial yang merupakan ciri dari demokrasi.
Sebelum internet merebak seperti saat ini, banyak orang menyampaikan kritik melalui berbagai media, seperti lagu, puisi, tulisan di koran, majalah atau lukisan di dinding yang kita kenal sebagai mural. Dulu orang merasa perlu melakukan kritik sosial baik ditujukan kepada masyarakat itu sendiri atau kepada pemerintah yang berkuasa. Tujuannya bukan untuk menghancurkan masyarakat atau melengserkan pemerintah, melainkan untuk memurnikan atau menebus segala nilai, kebijakan dan aturan-aturan yang dianggap tidak sesuai.
Meski demikian, kritik tidak bisa disampaikan secara sembarangan. Tentu saja ada etika yang perlu dijaga. Agar tercipta kritik yang konstruktif atau kritik yang membangun, sehingga diharapkan kritik yang disampaikan juga dapat menjadi solusi.
Di media sosial, kritikan yang ditujukan kepada pemerintah sangatlah mudah untuk ditemukan, entah dalam konten ataupun pada kolom komentar. Keberadaan media sosial seakan menjadi wahana bagi siapapun untuk menciptakan media secara independent, semua orang bahkan bisa menulis di media sosial tanpa harus mengikuti pelatihan jurnalistik.
Meski kebebasan berpendapat telah diatur undang-undang, namun bukan berarti kita bebas mencela dengan nada provokasi. Apalagi jika terdapat kritikan yang disampaikan secara kasar, tentu saja UU ITE dan polisi cyber akan menjerat pelaku pengkritik jika tidak mengindahkan etika dalam mengkritik. Jangan sampai, kritik yang disampaikan hanya berisi provokasi untuk membenci, tetapi kritikan haruslah obyektif agar menjadi evaluasi bersama dalam membangun negara agar lebih baik.
Pada kesempatan berbeda, Juru Bicara Presiden Jokowi, Fadjroel Rachman menegaskan, bahwa presiden selalu terbuka terhadap kritik. Menurut Fadjroel, kritik merupakan jantung demokrasi.
Ia menuturkan bahwa demokrasi tanpa kritik akan membuat suasana sepi. Fadjroel juga mengibaratkan bahwa suasana tersebut seperti kuburan. Fadjroel menjelaskan, bahwa ilmu pengetahuan itu tidak akan maju tanpa adanya kritik. Begitu pula masyarakat dan pemerintahan.
Saat Jokowi dikritik dengan tajuk “king of lip service”, Presiden Jokowi justru menanggapi hal tersebut sebagai keberimbangan terhadap praktik demokrasi. Sehingga kebebasan berekspresi memang perlu dijaga. Jokowi juga meminta kepada pihak kampus untuk tidak menghalangi mahasiswa untuk berekspresi dan lebih menekankan pada pendekatan persuasif.
Mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut juga mengatakan kepada pihak universitas untuk tidak perlu menghalangi mahasiswa dalam menyampaikan ekspresi. Namun Jokowi juga mengingatkan adanya budaya tata krama dan sopan santun.
Kritik adalah hal yang diperlukan agar demokrasi dapat terus hidup, kebebasan bersuara dan berpendapat tentu saja memungkinkan siapapun dapat menyampaikan kritikan terhadap sesuatu yang tidak sesuai, meski demikian bukan berarti kritik disampaikan secara provokatif, karena tentu saja ada etika yang harus diperhatikan agar kritik yang disampaikan tidak hanya berisi kebencian. Kritik sebaiknya didasari dengan fakta dan data yang benar, serta disampaikan melalui cara yang baik dan santun.
)* Penulis adalah warganet tinggal di Kota Padang